Kamis, 24 April 2014

KEKERASAN DALAM SEPAKBOLA DITINJAU DARI DIMENSI SOSIOLOGIS


KEKERASAN DALAM SEPAKBOLA DITINJAU DARI
DIMENSI SOSIOLOGIS

Oleh: Andi Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNM



Sepakbola dan suporter adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada sepakbola disitu ada suporter. Sepakbola telah mengubah pikiran normal manusia menjadi tergila-gila. Tidak memandang tua, muda maupun anak-anak, kecintaan mereka terhadap klub yang dibelanya telah menjadikan bukti kesetiaan mereka terhadap klub yang dicintainya. Disudut-sudut jalan dipasang berbagai hiasan bendera maupun spanduk dengan berbagai warna kebesarannya merah, hijau, maupun biru telah menjadi simbol dan identitas mereka.
Suporter adalah pemain ke duabelas yang dibilang paling fanatik dan antusias dalam membela klub yang dicintainya. Susah maupun senang, hati mereka melebur menjadi satu saat tim mereka berjuang meraih kemenangan. Inilah sepakbola yang telah membuka mata mereka bak separti pahlawan yang sedang berjuang dengan mengusung gengsi dan harga diri mereka dipertaruhkan di stadion hanya untuk menyandang gelar sang pemenang.
Bentrokan antar suporter sering terjadi baik didalam maupun diluar stadion. Tidak hanya di stadion saja yang ramai dipenuhi para suporter, di bar, cafe dan tempat perjudian pun sering di banjiri para suporter. Mereka tidak hanya sekedar menonton sepakbola akan tetapi ada juga yang mencari peruntungan di meja judi. Inilah sepakbola yang telah membutakan pikiran orang. Banyak orang yang menganggap lapangan adalah kiblatnya supporter yang mereka kelilingi selama pertandingan berlangsung. Panas, hujan tidak mereka pedulikan asalkan mereka bisa melihat tim yang dicintainya bertanding.
Di Indonesia, suporter divonis memperburuk citra sepakbola dan dianggap menjadi problem bangsa. Tindak kekerasan, kerusuhan, dan jatuhnya korban baik luka, tewas, rusak dan terganggunya ketertiban merupakan, pranata sosial sampai prasarana umum merupakan citra buruk yang melekat pada suporter sepakbola Indonesia. Kerusuhan suporter yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan isu baru, karena sejak lama sebenarnya sudah sering terjadi (Suyatna, dalam Nofie Iman, 2007:38).
Aksi pelemparan botol-botol air mineral, batu, ejekan dan cemoohan terhadap pemain dari tim lawan yang berbau SARA, merupakan gambaran prilaku anarkis supporter didalam lapangan. Di luar lapangan, supporter dapat melakukan hal-hal yang lebih tidak terpuji lagi seperti yang dilakukan BONEK akhir-akhir ini. Terjadinya kerusuhan oleh supporter yang kerap mewarnai persepakbolaan di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Baik dari segi keamanan, pemerintahan, panitia penyelenggara, perekonomian, sosiologis masyarakat dan banyak hal lain. Fenomena anarkisme yang kerap mewarnai pertandingan sepak bola juga ditenggarai oleh sikap atlet sepak bola Indonesia yang banyak belum menganut paham Sportivitas dalam pertandingan olahraga sehingga berimbas pada kefanatisan suporternya.
Permusuhan sering menjadi penyebab timbulnya keributan dan kekerasan pada olahraga dan pertandingan. Banyak faktor yang dapat memicu terjadinya permusuhan dan salah satunya yaitu sikap agresif yang pada cabang-cabang olahraga tertentu sering diperlukan. Sikap agresif ialah sikap yang menunjukkan usaha yang aktif, menyusun berbagai strategi untuk menguasai permainan dan mencapai kemenangan.
Kerusuhan suporter memang bukan hal baru di dunia sepakbola. Gengsi dan harga diri mereka pertaruhkan di lapangan saat tim kesayangan mereka bertanding. Suporter adalah penyemangat disaat timnya membutuhkan suntikan psikologis. Suporter akan terus berteriak dan bernyanyi guna memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. Sejarah kehadiran suporter atau penonton sepakbola sudah sama tuanya dengan kemunculan olahraga sepakbola itu sendiri.  Namun, kehadiran suporter tersebut menjadi begitu berarti dan menjadi unsur penting dalam pertandingan sepakbola.
                        Peran suporter sebagai performer menemui lahan subur di era abad ke-19, tepatnya diawali dengan berdirinya asosiasi sepakbola Inggris, yaitu Football Association (FA) pada tahun 1863. Munculnya fenomena suporter terorganisir (komunitas suporter) dipelopori oleh suporter negara-negara di benua biru yaitu Eropa, setelah Inggris dengan Hooligans lalu mulai bermunculan beberapa suporter seperti di Italia yang biasa di kenal dengan suporter Ultras, kemudian menyebar ke Denmark dengan sebutan Rolligan, dan di Skotlandia dikenal sebagai kelompok suporter Tartan Army. Komunitas-komunitas suporter telah terbentuk di berbagai Negara. Bahkan setiap klub di dunia pasti mereka mempunyai komunitas suporter sendiri. Kita telah mengenal komunitas suporter klub-klub besar di benua Eropa separti Inter Milan (Internisti), Juventus (Juventini) AC Milan (Milanisti) Liverpool (Liverpudlian).   
                        Sepakbola dalam fungsi sebagai sebuah harapan bagi mereka yang kurang beruntung dan merupakan golongan ekonomi menengah kebawah perlahan-lahan mempunyai kecenderungan untuk menjadi sebuah paham baru dan bahkan menjadi sebuah agama, dalam hal ini adalah keyakinan yang tertanam kuat.
                        Perspektif marxis dan “kriminologi baru”, Taylor dalam Mulyana (1969, 1970, 1971) menyatakan bahwa hooliganisme (dipaparkan untuk menjelaskan fanatisme) sepakbola harus dijelaskan sesuai dengan perubahan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Dia melihat Sepakbola secara tradisional sebagai olahraga laki-laki kelas pekerja, dimana klub sangat terikat dengan komunitas sekeliling mereka. Fans kelas pekerja merasa bahwa klub adalah suatu “demokrasi partisipatoris”, dimana pandangan mereka punya daya tawar dalam ruang dewan pengurus atau di lapangan (Giulianotti dalam Nofie Iman, 2008:5).
Fanatisme yang berlebihan dari suporter dalam mendukung kesebelasan yang disayanginya kandangkala berubah menjadi kerusuhan (anarkisme) dengan merusak berbagai fasilitas stadion maupun fasilitas umum di sekitar stadion. Tindakan kerusuhan suporter ini semakin anarkis ketika terjadi gesekan antara dua kelompok suporter. Meskipun misi perdamaian selalu di dengungkan oleh berbagai kelompok suporter, akan tetapi tindak anarkis yang di lakukan oleh suporter bukannya mereda akan tetapi justru semakin menjadi-jadi. Dalam Liga Djarum Indonesia XV dan Copa Indonesia tahun 2010 kompetisi sepakbola Indonesia masih saja diwarnai sejumlah aksi anarkis. Tidak cuma korban luka, nyawa pun melayang akibar tindak kerusuhan.
Konflik antara suporter tidak hanya terjadi di dunia nyata saja, di dunia maya konflik keduanya juga terjadi sebagai bentuk ketidakpuasan akan hadirnya suporter lawan. Nada-nada yang di sampaikan dalam pesan tersebut bernada provokasi yaitu dengan menghina atau melecehkan suporter lawan.
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam makalah ini antara lain; Bagaimana stereotype dalam pandangan dalam Suporter? Apakah yang sebenarnya terjadi berkenaan dengan fenomena kekerasan penonton sepakbola saat ini? Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi penonton untuk melakukan kekerasan dalam sepakbola? Mengapa tindakan kekerasan anarkisme sepakbola oleh penonton di Indonesia itu terjadi?

1. Perspektif Interpretif dalam Komunikasi

                        Perspektif sering kita kenal dengan makna yang lebih mudah yaitu sudut pandang. Bagaimana seseorang menilai, memandang suatu fenomena sosial yang ada. Sudut pandang setiap individu tentunya berbeda-beda, satu sama lain saling melengkapi atau bahkan saling mengkritisi.
                        Obyektif yang dimaksudkan di sini adalah apabila dengan obyektifitas kita melakukan pengukuran nilai terhadap ilmu, maka ilmu yang ukur sama sekali tidak obyektif. Namun, jika melalui kaca mata obyektifitas tersebut anda melakukan standarisasi (standardization), maka ilmu menjadi benar-benar obyektif. Jika tidak bisa dikatakan sebagai hal yang obyektif setidaknya anda telah berusaha untuk obyektif. Standarisasi yang dimaksud di sini tentu saja menganut kaidah-kaidah yang telah diletakan oleh Comte. Dalam konteks ini yang terjadi kemudian adalah para ilmuan berupaya memandang dunia ini melewati sebuah cara yang serupa dengan yang digunakan oleh orang lain. Mereka juga menggunakan metode yang sama dan melihat hal yang sama pula. Dibawah ini adalah gambar peta tradisi komunikasi terdapat dua kutub yang salaing berlawanan namun selalu berkaitan, wilayah objektif dan wilayah interpretif.
                Dapat kita lihat dari peta tradisi komunikasi di atas bahwa tradisi kritis merupakan dalam wilayah interpretif. Dalam wilayah interpretif lebih menitikberatkan pada penentuan makna dan nilai dalam teks komunikatif. Walaupun tidak ada teori interpretif yang diakui secara universal (keseluruhan), para budayawan dan para penafsir berulangkali meminta teori itu sebaiknya disempurnakan sebagian atau seluruhnya sesuai dengan fungsi-fungsi berikut: menciptakan pemahaman, nilai identitas, mengilhami penghargaan estetis, meningkatkan persesuaian, dan memperbaiki masyarakat (Griffin, dalam Nofie Iman 2003:44). Interpretif berasumsi bahwa ilmu pengetahuan selalu dilihat dari sudut-sudut tertentu. Kata, bahasa tubuh atau tindakan mempunyai kepatuhan, keteguhan terhadap yang telah diberikan suatu kelompok, tetapi ini sangat berbahaya untuk mengasumsikannya dengan hal yang berseberangan dengan hal itu (Griffin, Nofie Iman 2003:50).
Dalam perspektif interpretif tidak ada kebenaran yang mutlak ataupun kesalahan yang absolut. Semua hal dinilai dari sudut pandang tertentu sesuai dimana ia berada dalam satu komunitas. Penilaiaan terhadap sebuah fakta, realita dan fenomena sosial tidak begitu saja menghasilkan suatu keputusan apakah itu baik atau buruk, benar atau salah. Semua tergantung dari sudut pandang yang diyakini. Sebuah pemaknaan akan menghasilkan suatu konstruksi yang lambat laun terbangun tanpa kesadaran dan akhirnya menjadi sebuah keyakinan. Selain itu dapat pula timbul beberapa makna serta ambiguitas (Griffin, Nofie Iman 2003:50).
Interpretif menciptakan banyak realitas dan fakta. Dalam wilayah ini pembahasan lebih terpusat tentang bagaimana sebuah realita diciptakan, bukan tentang bagaimana sebenarnya yang benar. Sebuah makna bukan hanya seperti yang terlihat, tetapi nilai dan maksud yang terkandung didalamnya tidak terbatas. Dalam perspektif ini kebenaran tentang makna menjadi bias. Tradisi kritis yang masuk dalam wilayah perspektif menjadi sabuah telaah untuk menilai, mengungkap makna dan memberikan arti terhadap suatu fenomena sosial. Mencoba mengkritisi, memberikan penilaian, serta menjadikan suatu perubahan bisa dikatakan merupakan hasil dari perspektif interpretif.

2. Tradisi Sosiokultural dalam Komunikasi

Tradisi sosiokultural biasanya dieratkan ketika seorang individu berada dalam hubungan suatu kelompok ataupun komunitas. Pendekatan sosiokultural dalam teori komunikasi mengedepankan dalam cara bagaimana atau tata cara pemahaman orang, maksud/arti, norma-norma, aturan dan peran yang dipecahkan secara interaktif di dalam komunikasi. Teori menyelidiki interaksi dunia di mana orang-orang hidup, mengusulkan sebagai fakta gagasan di mana kenyataan bukanlah suatu sasaran satuan pengaturan yang berada di luar tetapi dibangun melalui suatu proses interaksi di dalam kelompok, kultur dan masyarakat.
Kata kunci dalam tradisi sosiokultural memfokuskan dalam pola interaksi antara masyarakat. Interaksi adalah suatu proses di mana maksud/arti, peran, aturan, dan nilai-nilai budaya terpecahkan. Dalam tradisi sosiokultural perlu dimengerti bagaimana masyarakat bersama-sama menciptakan realita kelompok sosial mereka, organisasi, dan kultur. Dan tentu saja, kategori yang digunakan oleh setiap individu dalam suatu komunitas untuk memproses informasi secara sosial tercipta melalui proses dalam komunikasi tersebut.
Dengan jelas, kemudian, tradisi ini tertuju akan adanya proses komunikasi yang terjadi pada kenyataannya. Walaupun tradisi ini menunjukkan untuk menguraikan aspek hubungan, kelompok, dan kultur yang diciptakan di dalam interaksi sosial, proses yang terjadi menghasilkan suatu tradisi sosiokultural. Teori sosiokultural memusatkan pada bagaimana identitas terbentuk melalui interaksi dalam kelompok sosial dan kultur. Identitas menjadi suatu peleburan oleh masyarakat dimana setiap individu mempunyai peran sosial, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai mahluk budaya. Kebudayaan dapat dilihat sebagai bagian yang signifikan dari proses interaksi sosial. Pada gilirannya, kebudayaan membentuk suatu konteks untuk penafsiran dan tindakan di dalam situasi komunikasi.
Variasi dalam pengaruh tradisi sosiokultural terbagi menjadi tiga pendekatan yaitu, symbolic interactionism, constructionism dan sociolinguistic (Pearce, dalam Jay. Coakley, 2003). Pada dasarnya pendekatan symbolic interactionism dalam tradisi sosiokultural menekankan pada pentingnya setiap individu mengamati ilmu komunikasi sebagai hubungan sosial yang didasarkan pada politik dan struktur sosial (Blumer, Jay. Coakley).
Kedua pendekatan sosial constructionism yang didasarkan pada pengamatan tentang interaksi sosial antara masyarakat, ciri dalam pendekatan ini bagaimana obyek yang dipermasalahkan mempergunakan bahasa untuk mengetahui konsep tersebut (Berger & Luckmann, 1966:46).
Ketiga adalah pendekatan sosiolinguistik, yaitu pendalaman melalui bahasa dan kebudayaan. Hal yang terpenting dalam tradisi ini adalah masyarakat menggunakan bahasa yang berbeda di dalam setiap komunitas sosial dan budaya yang berbeda pula (Sankoff, dalam Jay. Coakley 2003).
Budaya mengambil peran yang sangat kuat pada di kehidupan manusia pada umumnya dan cara hidup manusia secara spesifik. Mengingat bahwa kebudayaan-kebudayan berbeda satu dengan yang lain ini membuat generalisasi menjadi sulit. Di dalam etnografi komunkasi, ada Sembilan kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan budaya yaitu:
a)  Cara-cara berbicara atau pola komunikasi yang mirip pada anggota anggota pada suatu kelompok.
b)  Cara berbicara yang ideal.
c)  Komunitas   berdasarkan   lingkup   bicara   atau   kelompok   itu   sendiri   dan larangan-larangannya.
d)  Situasi berbicara atau waktu dimana komunikasi dianggap diperlukan pada suatu komunitas.
e)  Even berbicara atau episode apakah yang dipertimbangkan untuk berkomunikasi pada anggota-anggota suatu kelompok.
f)   Tindakan berbicara atau tindakan-tindakan yang spesifik yang diambil saat terjadinya komunikasi didalam sebuah even berbicara.
g)  Komponen-komponen dari tindakan berbicara atau apa yang suatu kelompok pertimbangkan menjadi elemen-elemen dari sebuah tindakan komunikatif.
h)  Aturan-turan berbicara didalam suatu komunitas atau standar dimana tindakan komunikatif dinilai.
i)    Fungsi-fungsi berbicara didalam suatu komunitas (Hymes dalam Littlejohn, 2005:312-313).
Tradisi sosiokultural dalam komunikasi juga dipengaruhi oleh ethnography dan ethnometodolgy. Di dalam ethnography pengamatan lebih didasarkan pada bagaimana suatu kelompok muncul untuk menciptakan maksud dan tujuan yang diinginkan melalui dua hal yaitu linguistik dan non linguistic. Sedangkan ethnomethodolgy lebih didasarkan pada pengamatan dalam kejadian yang nyata dengan fakta yang ada. Pendekatan ini menganalisa bagaimana didalam interaksi sosial kita mengatur atau menghubungkan perilaku pada hal yang nyata. Ethnomethodology juga mempengaruhi bagaimana kita memperhatikan percakapan, termasuk tatacara di mana individu mengatur kejadian yang berulang-ulang secara mengalir dengan bahasa dan perilaku nonverbal.

3. Komunikasi Multikultur
Komunikasi antar budaya tak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus dicatat bahwa studi komunikasi antar budaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi Definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan“ dalam beberapa definisi komunikasi di atas. Kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang paling sederhana, yakni komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Terdapat tujuh definisi komunikasi dari berbagai sumber antara lain :
a)  komunikasi antar manusia sering diartikan dengan pernyataan diri yang paling efektif
b)  komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis dan lisan melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran yang imajiner.
c)  komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian hiburan melalui kata-kata secara lisan atau tertulis dengan metode lainnya.
d)  komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seorang kepada orang lain.
e)  pertukaran makna antara individu dengan menggunakan sistem simbol yang sama.
f)   komunikasi adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui suatu saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu.
g)  komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna. (Walstrom dalam Liliweri, 2002:8)
            Kita dapat melihat bahwa proses perhatian komunikasi dan kebuadayaan, terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi yang melibatkan komunitas atau kelompok manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjaga makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia.
            Studi komunikasi itu ibarat sebuah oasis, dan studi komunikasi antar budaya itu dibentuk oleh ilmu-ilmu tentang kemanusiaan yang seolah nomadik lalu bertemu di sebuah oase. Ilmu-ilmu sosial “nomadik” itu adalah antropologi, sosiologi, psikologi dan hubungan Internasional. Oleh karena itu sebagian besar pemahaman tentang komunikasi antar budaya bersumber dari ilmu-ilmu tersebut sebagaimana terlihat dalam beberapa definisi berikut ini:
a)  Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader-komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeada kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. (Samovar dan Porter, 1976:25).
b)  Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya yang berbeda. (Samovar dan Porter,1976:4)
c)  Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi pada paserta. (Dood, 1991:5)
d)  Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunukasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu dalam memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. (Lusting dan Koester Intercultural Communication Competence, 1993).
e)  Intercultural Communication yang disingkat “ICC“, mengartikan komunikasi antar budaya merupakan interaksi antar pribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.
f)   Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negoisasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
                        Selanjutnya komunikasi antar budaya dapat dilakukan cara anatara lain:
a)  Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antar budaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
b)  Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;
c)  Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;
d)  Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara (Hammer & Schramm dalam Liweri, 2002:10-12).
Pengertian-pengertian komunikasi antar budya tersebut membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antar budaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antar budaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interprestasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan karena, ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antar pribadi dapat menyentuh nuansa komunikasi antar budaya. Di sini, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antar pribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayan kita.

4. Stereotype

Stereotype merupakan salah satu masalah yang timbul dalam sebuah komunikasi. Pengidentifikasian suatu kelompok dengan stereotype yang telah disandang oleh kelompok tersebut sering menimbulkan penilaian yang prematur. Hanya berdasarkan peristiwa yang pernah dilakukan tak berarti nilai tersebut akan melekat selamanya, tetapi tidak demikian yang terjadi dalam masyarakat, stereotype atau lebih mudahnya kita sebut sebagai anggapan atau dugaan, akan selalu melekat dengan kelompok tersebut, tidak peduli apakah sudah ada perubahan maupun tidak. Kebudayaan stereotype diciptakan melalui sosialisasi, peran media, norma dan hukum. Media berpengaruh besar membentuk stereotype masyarakat, melalui tayangan-tayangannya media telah berhasil membentuk kelompok yang terstereoty pekan dan kelompok yang menilai hal tersebut. Norma dan hukum turut berperan juga dalam pembentukan stereotype, sebuah norma dan hukum yang telah dijalankan oleh sebuah kelompok menjadi stereotype tersendiri bagi kalangan tersebut.
Sedangkan sosialisasi merupakan jalan terbesar dalam pembentukan stereotype, masyarakat yang tidak saling mengenal satu sama lain berinteraksi untuk menjalin sebuah hubungan, stereotype yang mereka bawa dari golongan masing-masing terkadang menjadi penghalang untuk hubungan tersebut menjadi bernilai. seperti sebuah pengalaman langsung (Gudykunst, 2003:114). Stereotype adalah suatu pandangan atau gambaran yang terbentuk atau muncul dalam pikiran. Dia menggarisbawahi bahwa stereotype mempunyai dua komponen yaitu cognitive dan affective (Lipman dalam Gudykunst 1992:127).
Stereotype adalah bentuk dari representasi cognitive dari suatu kelompok yang mempengaruhi pikiran kita terhadap anggota dalam kelompok itu. Stereotype itu biasanya didasarkan pada setiap kemampuan individu dalam memandang suatu hal. Proses Stereotype biasa terjadi dalam kehidupan sosial. Stereotype dalam kehidupan sosial mencerikan dimana masyarakat tinggal di suatu daerah, dan dengan stereotype itu juga menyimbolkan bagaimana masyarakat mempunyai ciri yang terbentuk. Bisa dikatakan bahwa proses stereotype adalah hasil dari kecenderungan pada suatu pandangan terhadap derajat dari gabungan antara kelompok dalam anggota dan sifat psikologi anggota kelompok.
Stereotype adalah generalisasi tertentu yang diberikan oleh perseorangan terhadap orang lain atau kelompok lain. Fungsi utama dari proses ini adalah untuk melakukan simplifikasi atau sistematisasi, untuk memprediksi tingkah laku dari orang lain atau kelompok lain. Namun stereotype semacam itu bisa hanya menjadi bagian dari sosial stereotype ketika terbagi-bagi dalam kelompok besar didalam kelompok-kelompok sosial (Tajfel dalam Gudykunst, 2003:128). Beberapa dari stereotype kita adalah unik dan berdasarkan penglaman-pengalaman pribadi kita, tapi sebagian yang lain dibagi dengan anggota-anggota yang lain dari kelompok kita. Stereotype yang kita bagi dengan orang lain (kelompok) adalah stereotype sosial (Devine dalam Gudykunst, 2003:128).
Stereotype kita merupakan gambaran-gambaran multi dimensional terbagi dalam 6 dimensi yaitu:
a)         Complexity (keragaman): Sejumlah sifat-sifat yang kita prediksikan terhadap kelompok lain.
b) Clarity (Kejelasan): (1) Polarization (polarisasi) penilaian atau dugaan pada setiap dimensi sifat, dimana orang-orang dari suatu kelompok memberikan penilaian-penilaian yang tidak netral terhadap sifat dari orang-orang yang berasal dari kelompok lain. (2)            Consensus (Konsensus): merupakan persetujuan diantara orang-orang dalam menilai sifat dari kelompok lain.
c) Specificity-Vagueness (Spesifikasi-Abstrak): Tingkat ketepatan dimana sifat-sifat yang kita prediksi adalah benar-benar spesifik atau abstrak.
d) Validity: Tingkat ketepatan dimana stereotype dihadapkan pada penelitian-penelitian realistis dari sifat-sifat.
e) Value (Nilai): Penilaian seseorang yang bersifat faforable (positif-negatif) terhadap sifat-sifat dari berbagai kelompok atau orang.
f)  Comparability (Perbandingan): Proses stereotype agar sebuah perbandingan dilakukan antara autostereotype (kelompok itu sendiri) dan heterostereotype (sebuah kelompok melakukan pengamatan terhadap kelompok lain) (Vassiliou, Triandis, Vassiliou dan Mc Guaire dalam Gudykunst, 2003:128).
   Perbedaan antara normatif dan non normatif stereotype dibentuk oleh angota-anggota dari kelompok itu sendiri untuk melakukan kontak dengan orang-orang atau anggota-anggota dari luar kelompok itu sendiri. Suatu stereotype nornatif adalah “suatu norma kognitif mengenai pemikiran tentang suatu kelompok” berdasarkan informasi yang diperoleh dari pendidikan, media massa atau peristiwa-peristiwa bersejarah. kebalikannya nonnormatif stereotype tidak dibentuk oleh basis informasi dari sumber-sumber tersebut. Interaksi memiliki dampak dalam berubahnya stereotype menjadi ”match” terhadap sosiotype; dimana ini meningkatkan validitas dari stereotype (Vassiliou dalam Gudykunst, 2003:129).
                                    Isi dari stereotype memberitahukan kepada kita “Konstelasi atau kumpulan kepercayaan mengenai anggota-anggota dari kelompok sosial”, atau apa yang individu pikirkan mengenai kelompok-kelompok lain. Ada tiga prinsip dasar dibawah isi stereotype:
a)  Stereotype mengenai kepercayaan yang merefleksikan hubungan diantara kelompok-kelompok.
b)  Stereotype mengenai persepsi dari tingkah laku yang negatif dan ekstrim.
c)  Stereotype yang menata divisi diantara anggota-anggota kelompok didalam kelompok itu sendiri dan diluar kelompok itu sendiri (Operario dan Fiske dalam Gudykunst, 2003:129).
                   Pada akhirnya tingkah laku kita, kepribadian kita, motivasi, dan gaya kognitif memediasi bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi formasi atau bentuk dari stereotype kita (Bar-Tal dalam Gudykunts 2003:130). Dalam beberapa kasus ditemukan lebih banyak adanya kemiripan antara orang-orang yang memiliki pekerjan sama dengan berbagai kebudayan yang berbeda dari pada diantara orang-orang yang memiliki pekerjaan-pekerjaan berbeda dengan kebudayan yang sama (Inkeles dalam Gudykunst, 2003:131). Stereotype memberitahukan kepada kita isi kategori dari kategori sosial kita. Kita memiliki kategori-kategori sosial dimana kita menempatkan orang-orang, dan stereotype kitalah yang memberitahukan kepada kita orang-orang seperti apakah yang ada dalam kategori-kategori tersebut. Stereotyping   adalah   hasil   dari   tendensi   kita dalam memberikan penilaian berdasarkan tingkatan asosiasi di antara anggota kelompok dan sifat-sifat fisik (Gudykunst, 2003:131).
                 Stereotype kita mempengaruhi cara kita memproses informasi. Kita lebih terbuka mengenai berbagai informasi didalam kelompok kita dan kurang terbuka terhadap kelompok yang lain (Hewstone dan Giles dalam Gudykunst, 2003:132). Stereotype mempengaruhi bagaimana kita menangkap informasi dan mempengaruhi bagaimana perilaku kita melihat informasi atau fakta yang ada. Tanpa disadari, kita selalu menganggap bahwa pandangan kita selalu benar dan begitupun dengan sikap kita.
   Stereotype menjalankan sebagai sumber dari keinginan tentang apa yang dari suatu kelompok miliki dan berusaha untuk mempengaruhi anggota lainnya. Pengaruh itu dapat meresap, mempengaruhi perhatian anggota, menyimpulkan tentang dan pandangan, peniliaian/penafsiran yang didasarkan pada informasi tersebut. Penafsiran yang dihasilkan ataupun yang dipandang merupakan suatu konsistensi yang terbentuk dari kepercayaan dari kelompok tersebut. (Hamilton dalam Gudykunst, 2003:132).
Bagaimanapun juga ketidak akuratan atau stereotype negatif dapat menuntun kita kepada ketidakakuratan prediksi dari tingkahlaku orang lain dan kesalah pahaman. Untuk meningkatkan efektifitas kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita perlu meningkatkan kompleksitas stereotype kita dan menanyakan asumsi rasa ingin tahu kita, jika tidak semuanya, anggota-anggota dari suatu kelompok membuat stereotype hanya dari sudut pandangnya sendiri (Stephan dan Rosenfield dalam Gudykunts, 2003:134).
   Ada empat opsi yang mungkin diantara bagaimana individu mengidentifiksi suatu kelompok dan cara mereka bertingkah laku:
a)   Individu-individu bisa melihat diri mereka sendiri sebagai anggota kelompok yang tipikal dan bertingkahlaku secara tipikal
b)   Indivdu-individu bisa melihat diri mereka sendiri sebagai anggota kelompok yang tipikal dan bertingkah laku secara tidak tipikal.
c)   Individu-individu bisa melihat diri mereka sendiri sebagai anggota kelompok yang tidak tipikal dan bertingkahlaku secara tidak tipikal.
d)   Individu-individu bisa melihat diri mereka sendiri sebagai anggota kelompok yang tidak tipikal dan bertingkahlaku secara tipikal (Ting-Toomey dalam Gudykunst, 2003:135).
   Ketika kita menempatkan orang lain di dalam sebuah kategori, stereotype kita atas kelompok-kelompok orang lain membantu kita memprediksi tingkah laku mereka jika kita menemukan bahwa orang lain tersebut adalah anggota tipikal dari kelompok mereka, kita dapat mengurangi ketidakyakinan kita karena kita berasumsi bahwa stereotype kita memberitahukan kepada kita bagaimana anggota kelompok yang tipikal berkomunikasi (Krauss dan Fussell dalam Gudykunst, 2003:135). Stereotype adalah isi dari kategori-kategori ketika kita sedang mengkategorikan orang. Stereotype yang kita miliki mempunyai suatu pengaruh langsung terhadap komunikasi kepada orang lain. Sebagai contoh prediksi kita terhadap tingkah laku orang lain tergantung dari stereotype yang di miliki mengenai budaya orang lain atau etnik kelompok (Gudykunst,2003 :136).

5. Fanatisme

   Sepakbola begitu dekat dengan kekerasan. Apalagi di Indonesia, citra suporter sudah mendapat cap buruk dari masyarakat karena seringnya terjadi kekerasan dan kerusuhan pada pertandingan sepakbola (Rusli Lutan dalam Handoko,2008). Fanatisme bisa dimaknai ketika pikiran seseorang sangat terpaku sehingga mereka tidak akan menanggapi diskusi atau argumen apapun, serta fanatisme terjadi ketika pertimbangan-pertimbangan fisik mengalahkan rasionalitas.
   Fanatisme lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ihwal yang suci sebagai steril, tak pernah terkontaminasi, murni, bahkan ajeg. Fanatisme adalah antipola atas civil society karena menolak rasionalitas sebagai landasan kemajemukan ruang publik (http://www. kompascy bermedia.com).
   Banyak penyebab lahirnya sebuah fanatisme, yang lazim kita jumpai adalah fanatisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Kebanyakan persepsi mengatakan bahwa fanatisme merupakan hal yang buruk, karena terlalu berlebihan dalam segala hal. Dan hal tersebut juga melanda dan terjadi dalam dunia olahraga, lebih-lebih sepakbola. Hal seperti itu terjadi bukan karena tanpa alasan, banyak hal yang mendasari hal tersebut, antara lain sering terjadinya konflik yang berujung pada anarkisme dan kekerasan.
   Kenikmatan psikososial kekerasan sepakbola menjadi arti tersendiri bagi hooligan. Hooligan secara teratur mengacu pada dengung (buzz) emosional yang menyergap saat mereka bergairah (streaming in) melawan pesaing (giulianotti, 1996d; Allan,1989 :132ff; Ward,1989:5). Istilah terapan lainnya adalah kegiatan berbahaya (edgework) (Lyng 1990). Konsep ini menegaskan bahwa hooliganisme dikategorikan sebagai perburuan atau kegiatan waktu luang yang menyerempet bahaya atau berisiko, pada hal yang seperti ini kenikmatan menghadapi bahaya secara sosial diperoleh tujuan akhir orang yang mengejar kegiatan berbahaya adalah untuk melanggengkan pengalaman itu (Lyng dalam Giulianotti, 2006:65).
Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan, tergila-gila, keranjingan (Muhtaddin,2008:33). Ketika pertimbangan rasio yang selalu kita agung-agungkan kalah oleh pesona fisik yang ditampilkan menjadikan agenda fanatisme semakin membabi-buta. Seperti agama, olahraga juga digunakan untuk tujuan politik, mempersiapkan bangsa untuk perang lebih daripada mencegah peperangan dan tindakan menghancurkan yang lain.
Tradisi kritis budaya tentang olah raga dan masyarakat menekankan lebih tentang sisi konflik dari kompetisi olahraga dan dampak sosialnya. Apapun hal positif dari olahraga, hal tersebut juga merugikan orang lain, menciptakan permusuhan diantara para fans/suporter, dalam kasus lain mengesahkan kekerasan, dan memberikan sumbangan terhadap akibat negatif lain.
Suporter di Indonesia sering menampilkan sisi lain dari sebuah fanatisme. Tidak hanya secara kasat mata terlihat dampaknya, tetapi sebenarnya juga fanatisme dalam hal ini ingin memperlihatkan bagaimana identitas budaya mereka, serta bagaimana mereka berkomunikasi dengan kelompoknya maupun kelompok lain. Individu yang tergantung terhadap kelompok mereka, menganggap hal itu sebagai pusat tujuan mereka, merasakan solidaritas yang besar, dan memiliki sebuah ancaman identitas sosial memungkinkan untuk merasa bertempur dalam kelompok (Gudykunst, 2003:215). Banyak penyebab lahirnya sebuah fanatisme, yang lazim kita jumpai adalah fanatisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Kebanyakan persepsi mengatakan bahwa fanatisme merupakan hal yang buruk, karena terlalu berlebihan dalam segala hal. Dan hal tersebut juga melanda dan terjadi dalam dunia olahraga, lebih-lebih sepakbola.
Di Indonesia, peran sepakbola sebagai sebuah olahraga seakan hadir untuk menjadi pengobat rasa pahit dan getirnya kehidupan yang keras di luar sana, kerasnya realita yang ada di depan mata mereka. Euforia di lapangan sepakbola bisa sejenak melupakan segala kehidupan sehari-hari (Suyatna, 2007:32-33). Seperti cabang olahraga lain, sepakbola tidak terlepas dari adanya pendukung suatu kesebelasan yang lazim disebut suporter. Keberadaan suporter atau pendukung merupakan salah satu pilar penting yang wajib ada dalam suatau pertandingan sepakbola agar tidak terasa hambar dan tanpa makna. Kelompok suporter merupakan fenomena lebih lanjut dari legalisasi komunitas pendukung suatu kesebelasan.
Sikap fanatisme yang biasa memprovokasi kekerasan bisa dikatakan hal yang wajar karena ujung-ujungnya pasti akan terjadi konflik. Kebanyakan kerusuhan cenderung terjadi di lapangan (melawan polisi) sebagai respon atas peristiwa dilapangan, atau dengan serta merta terjadi di luar stadion saat kelompok yang satu bertemu dan berkumpul dengan kelompok lain (Giulianotti, 2006:70).
Tetapi kekerasan yang muncul tidak hanya dalam bentuk fisik yang mencederai individu atau kelompok masyarakat tertentu. Suporter sepakbola telah mengembangkan suatu forum yang lebih terorganisir untuk melindungi kepentingan mereka (Giulianotti, 2006:77). Kekerasan juga dapat memanifes dalam tindak wicara ketika tindak wicara menjadi aktivitas yang berpotensi untuk merampas hak-hak dasar seseorang atau kelompok masyarakat untuk berpendapat dan berfikir merdeka.
Partisipan dalam sepakbola terintegrasi ke dalam sistem sosial yang lebih besar saat mereka bertemu dan berinteraksi dengan partisipan dari klub lainnya. Klub dengan demikian membantu mengembangkan kesamaan bentuk identitas atau solidaritas yang lebih dalam di tingkat lokal, umum dan nasional (Escobar dalam Giulianotti, 2006:18).
Fanatisme muncul dari pikiran masyarakat sendiri baik terhadap seorang atau personal ataupun kelompok yang dipuja, dielu-elukan dan diharapkan member pengharapan yang lebih terhadap kelompok pemuja itu sendiri. Sayangnya, ketidakdewasaan dan ketidak seimbangan suporter olahraga memungkinkan timbulnya pengalaman yang berbahaya, bahkan cenderung gila. Individu yang menjadi korban kematian dalam sepakbola dan adegan saling pukul di tribun selalu mengingatkan kita.
Dari hal-hal diatas fanatik sering dianggap sikap yang sangat tercela, anggapan yang muncul ketika yang terlihat oleh kita hanya kejelekan dan keburukan yang timbul akibat dari fanatisme. Sepakbola memberikan ilusi yang tidak pernah diberikan oleh segala macam utopi sosial dan janji keselamatan, dalam ilusi itu orang menghayalkan: mereka yang kaya bersatu dengan yang miskin, serigala merumput bersama domba dan kedamaian lahir menggantikan kekejaman (Sindhunata, 2002:45). Dilihat dari latar belakang sosial budaya, suporter itu masyarakat grass­roots, akar rumput. Mayoritas dari mereka berasal dari kelas menengah ke bawah. Banyak pengangguran, pendidikannya juga tidak terlalu tinggi dan sebagainya. Mungkin di rumah sudah sumpek. Mereka ingin mengekspresikan dirinya di stadion dan menunjukkan kalau eksistensi mereka itu ada. Suporter sepakbola telah mengembangkan suatu forum yang lebih terorganisir untuk melindungi kepentingan mereka (Giulianotti, 2006:77). Fanatisme sering dianggap sikap yang sangat tercela, anggapan yang muncul ketika yang terlihat hanya kejelekan dan keburukan akibat dari fanatisme.
Kesamaan nasib dan pandangan mereka tentang realitas kerasnya dunia dibarengi dengan kesamaan hobi sepakbola sekan mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan persamaan tersebut. Mereka sadar atau tidak sadar berusaha mencari rekanan untuk bertahan dan melanjutkan hidup atas tekanan sosial yang mereka hadapi. Kesamaan tersebut mereka wujudkan dalam sebuah legalitas komunitas yang bermotifkan mendukung kesebelasan yang mereka cintai (Hinca Pandjaitan, 2008).
Sepakbola adalah bentuk konflik sekaligus kompetisi, sebagai bentuk konflik pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya untuk saling mengalahkan demi memperoleh kemenangan. Sedangkan semangat kompetisi diwujudkan dengan adanya aturan-aturan permainan yang dibuat oleh otoritas yang berwenang guna menjamin keadilan di lapangan. Secara umum konflik merupakan aktualisasi dari perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih sehingga wujud konflik dan kompetisi direpresentasikan tidak hanya oleh dua puluh dua orang di lapangan, tetapi juga melibatkan seluruh komponen tim, baik official ataupun suporter masing-masing (Wibowo dalam Hinca Pandjaitan, 2008).
Suporter sebagai bagian yang terlibat langsung dalam tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror tim lawan. Ketika kedua belah kesebelasan dan kedua belah suporter saling bertemu maka yang terjadi adalah perang yel-yel dan akhirnya bisa terjadi kontak fisik antara kedua belah suporter tersebut. Konflik yang terjadi antara kedua kelompok suporter jelas tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kompetisi yang terjadi pada klub yang mereka dukung karena suporter senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan tim yang mereka dukung.
Kecintaan yang lebih (fanatisme) adalah faktor dari semua itu (kekerasan, anarkis dll) kekhasan untuk menggambarkan manusia alam perspektif cinta memberi kesan filosofis yang mendalam bahwa kehidupan ini adalah seni mencintai (the art of loving). Dengan cintalah manusia akan sangat mengerti sifat dasar manusiawinya, yaitu lekatnya sebuah kasih sayang. Dan sebaliknya, dengan cinta pula manusia berubah menjadi sadis, ambisisus dan mematikan (Rusli Lutan dalam Handoko, 2008).
Namun, dalam sisi lain fanatisme merupakan sebuah sikap yang bisa dikatakan sikap yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan hal yang baik. Ketika kita menganut kepercayaan tertentu, maka sikap ideal yang harus kita ambil adalah percaya bahwa kepercayaan kita itulah yang paling benar. Sepakbola memberi kepercayaan, bahwa kita dapat mengerjakan segalanya, terutama di masa sulit, kemenangan dapat memberikan keberanian untuk terus maju dan bertahan (Sindhunata, 2002:175). Fanatisme akan berdampak luar biasa terhadap sikap hidup seseorang. Segala sesuatu yang diyakini akan memberikan sebuah semangat hidup yang lebih pada orang tersebut.

6. Konflik Sosial

Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu di hadapkan dengan berbagai macam masalah atau konflik. Konflik bisa datang dengan sendirinya, entah konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat di hilangkan. Konflik hanya dapat dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang di bawah individu dalam suatu interaksi. Dengan dibawah sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Di sini kita dapat mengambil contoh dalam dunia olahraga khususnya sepakbola kita sering sekali melihat konflik di dalamnya, baik itu antara pemain, wasit, atau antar suporter kedua kesebelasan. Dalam sepakbola konflik merupakan keniscayaan karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya untuk mengalahkan pihak lawan untuk memperoleh kemenangan. Suporter yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus menteror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain.
Dengan demikian secara umum konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau lebih. Perbedaan tim yang didukung, dimana tim yang didukung tersebut saling bersaing satu sama lainnya, menempatkan antar kelompok suporter pada situasi konflik. Situasi dan kondisi di lapangan pertandingan juga turut mempengaruhi sikap masing-masing kelompok suporter. Keputusan sang pengadil pertandingan yang bisa ditafsirkan beragam, antara adil dan berat sebelah, bisa menimbulkan perasaan sakit hati pada pihak yang dirugikan. Kemenangan suatu tim dengan cara-cara yang tidak sportif seperti dengan mengasari tim lawan, juga dapat memancing emosi dari suporter tim tersebut.
Dalam kehidupan sosial manusia, dimana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut “konflik“ (Jay. Coakley.2003). Istilah “konflik“ secara etimilogis berasal dari bahasa latin “con“ yang berarti sama dan “fligere“ yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan lain-lain yang paling tidak melihat dua pihak atau lebih. mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang dan masalah kekuasaan?“, ternyata jawabanya tidak, dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik social (http://jurnal-humaniora.ugm.ac.id/download/Mulyadi
 Konflik yang terjadi antara kelompok suporter di Indonesia, jelas tidak bisa dipisahkan dari kompetisi dan konflik yang terjadi pada klub yang mereka dukung. Sebab suporter senantiasa mengidentifikasikan dirinya dengan tim yang mereka dukung. Akar dari konflik tersebut yaitu berempatinya para suporter pada perjuangan klub yang mereka dukung untuk menjadi yang terbaik. Tampaknya pencegah dorongan membunuh sesama manusia memang ada, asalkan ada rasa mengenali dan empati. Kita mesti memulai dengan pertimbangan bahwa bagi manusia primitif, orang asing dalam hal ini orang yang bukan anggota kelompoknya seringkali tidak dianggap sebagai saudara, namun sebagai “sesuatu” yang tidak ia kenali. Umumnya mereka enggan membunuh anggota kelompok mereka, dan hukuman terberat atas kesalahan besar dalam masyarakat primitif acapkali berupa pengasingan, bukannya pembunuhan.
Hal ini tercatat dalam hukum Cain dalam Bible (Fromm, 2000:162). Hal tersebut dapat kita lihat dan kita jumpai pada kelompok suporter, dimana mereka akan saling melindungi satu sama lain dengan kelompoknya meski nyawa adalah taruhannya. Mereka menganggap suporter lain yang tidak mereka kenali adalah musuh.
Perang disebabkan karena adanya kedestruktifan manusia, namun dia berpendapat bahwa penyebabnya adalah konflik nyata antar kelompok yang di selesaikan dengan kekerasan, mengingat tidak ada hukum yang berlaku secara internasional seperti dalam undang-undang sipil untuk mengatasi konflik secara damai (Freud dalam Fromm, 2000:294). Terdapat motivasi lain yang lebih luas atau tersamar yang memungkinkan terjadinya perang dan tidak ada kaitannya dengan agresi.
Perang merupakan pengalaman yang menantang, meski taruhannya adalah nyawa atau derita fisik yang tak terperikan. Mengingat bahwa kehidupan orang awam cukup menjenuhkan, terpaku pada rutinitas dan kurang menantang, maka kesiapan untuk maju berperang meski dipahami sebagai keinginan untuk mengakhiri rutinitas sehari-hari yang membosankan dan untuk mengikuti petualangan, satu-satunya petualangan yang mungkin hanya sekali itu mereka jalani.
Konflik sosial merupakan gejala universal dan selalu ada di dalam masyarakat mana saja. Tidak ada satu masyarakat pun yang dapat terbebas dari konflik. Selagi masyarakat masih ada, selama itu pula konflik dapat muncul. Konflik tidak dapat di hilangkan, melainkan hanya bisa dicegah atau dikurangi agar tidak semakin meluas atau mendalam. Istilah conflict berarti suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Namun demikian, makna konflik tersebut berkembang dengan maksudnya: ketidak sepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain. Secara singkat istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal (Pruitt & Rubin dalam Suyatna, 2007:15).
Dengan demikian, konflik diartikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived devergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik muncul oleh berbagai sebab. Sebab-sebab konflik antara lain adalah (1) Sumber daya dan keinginan, (2) kepemerintahan, (3) ideologi dan agama, (4) identitas. Munculnya konflik tidak sekedar disebabkan ketimpangan sumber daya ekonomi atau produksi saja, tetapi sebenarnya jauh lebih luas dari itu.
Menurutnya, ada dua tipe yang membedakan konflik. Pertama, konflik dalam arena politik dalam arti kekuasaan dan ekonomi yang dapat melibatkan kelompok politik, agama dan pendidikan. Kedua, konflik dalam hal gagasan atau cita-cita yang menyangkut pada persoalan dominasi dan pandangan dunia dari kelompok masyarakat yang menyangkut doktrin agama, budaya, filsafat sosial maupun gaya hidup.
Konflik sendiri dapat dilihat dari berbagai dimensi yaitu, dalam dimensi perilaku, adalah konflik terbuka yang ditandai dengan adanya kelompok yang bertikai. Dimensi sikap, adalah konflik yang tidak telihat dan terlembagakan dalam kultur seperti persepsi, toleransi dan nilai. Sedangkan dalam dimensi konteks, konflik yang tidak terlihat dan terlembagakan dalam struktur masyarakat seperti ekonomi, sosial dan politik.
Konflik sosial pada umumnya dipahami dalam dua kategori yaitu Pertama, konflik ditempatkan sebagai suatu kejadian, peristiwa atau “fakta”, pertikaian antara satu pihak (pihak I) dan pihak lain (pihak II). Contoh untuk kategori ini yaitu perkelahian, tawuran, perang, revolusi sosial, demonstrasi, aksi massa, dan lain-lain. Kedua, konflik ditempatkan sebagai sudut pandang, perspektif, dalam memandang atau melihat peristiwa-peristiwa social.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
Kekerasan pada akhirnya merupakan salah satu bentuk tindakan yang tidak terelakkan dari terjadinya konflik tersebut. Ada 4 tipe kekerasan yaitu: pertama, kekerasan kolektif formal seperti perang dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, kedua, kekerasan kolektif informal seperti kerusuhan sosial, ketiga, kekerasan individu formal seperti preman, carok, dan sebagainya dan keempat, kekerasan lain yang tidak sesuai dengan adat dan peraturan. Inti kekerasan sering disebut juga dengan kekejaman, yakni bagaimana membuat rasa takut, menderita dan tunduk terhadap kepentingan suatu kelompok/orang tertentu.
Konflik berkembang melalui beberapa tahap yaitu pertama, dormansi, kedua, emergence (muncul konfrontasi), ketiga, meluas, keempat, reaksi, kelima, keluaran dan dampaknya. Tahap tersembunyi biasa disebut sebagai tahap stabilitas, ketidak seimbangan, reaksi kekecewaan yang sangat keras dan penyiksaan terhadap hak-hak (Norton dalam haris; 2007).
Sepakbola dan anarkisme suporter memang dua hal yang seringkali saling berkaitan, apalagi ini telah menyangkut harga diri dan identitas dari suatu golongan atau kelompok. Di negara-negara Eropa yang sudah maju sepakbolanya, anarkisme yang dilakukan oleh suporter masih terus terjadi. Anarkisme sendiri memiliki makna suatu tindakan yang cenderung ke arah tindakan kerusuhan dan kekerasan yang merugikan banyak orang karena hanya mendasarkan diri pada egoisme buruk. Orang akan membuat kerusuhan dan kekerasan untuk membesarkan egonya. Sentimen dan fanatisme yang belebihan dalam mendukung kesebelasan yang disayanginya sering memicu terjadinya tindak kekerasan dan kerusuhan suporter. Sebagai akibat fanatisme yang luar biasa ini, maka seorang suporter akan rela melakukan apa saja demi kejayaan klub yang dibelanya. Suporter sepakbola telah mengembangkan suatu forum yang lebih terorganisir untuk melindungi kepentingan mereka. (Giulianotti, 2006:77).
Partisipan dalam sepakbola terintegrasi ke dalam sistem sosial yang lebih besar saat mereka bertemu dan berinteraksi dengan partisipan dari klub lainnya. Klub dengan demikian membantu mengembangkan kesamaan bentuk identitas atau solidaritas yang lebih dalam di tingkat lokal, umum dan nasional (Escobar dalam Giulianotti, 2006:18). Hal ini selaras dengan pendapat dari Machiavelli yang mengatakan bahwa kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan ancaman.
 Pada perilaku di dalam komunitas suporter sepakbola, selain dari pengaruh rasional untuk mencapai tujuan, rasional karena nilai-nilai maka yang ketiga pola perilaku tidak terlepas karena emosional di manusia bertindak secara afektif, yaitu tingkah laku yang berada di bawah dominasi langsung perasaan-perasaan. Belum lagi, jika sebuah tim kesebelasan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, spontan saja amuk para pendukungnya menghiasi dan seakan melengkapi manisnya pertandingan. Belum lagi jika tim yang mempunyai pendukung yang sangat fanatik mengalami hasil buruk, maka dapat dipastikan stadion akan berubah menjadi lautan amuk massa (Rusli Lutan daam Handoko,2008).
Maraknya aksi kerusuhan suporter yang melibatkam sebagian manusia dikarena- kan manusia tidak ingin melihat kekuasaannya dicabik-cabik. Dengan demikian, kecintaan terhadap klub adalah faktor dari semua ini. Dengan cinta, manusia akan sangat mengerti sifat dasar manusiawinya yaitu lekatnya sebuah kasih sayang, namun sebaliknya dengan cinta pula manusia berubah menjadi sadis, ambisius dan berubah menjadi mematikan. Sepakbola memberikan ilusi yang tidak pernah diberikan oleh segala macam utopi sosial dan janji keselamatan, dalam ilusi itu orang menghayalkan: mereka yang kaya bersatu dengan yang miskin, serigala merumput bersama domba dan kedamaian lahir menggantikan kekejaman (Sindhunata, 2008:37).
Perang (konflik), dalam beberapa hal, membalikkan semua nilai-nilai yang berlaku. Perang memicu timbulnya dorongan hati yang terdalam, misalnya altruisme (mengutamakan kepentingan umum) dan kesetiakawanan dorongan-dorongan yang terhalangi oleh prinsip-prinsip egoisme dan persaingan yang pada keadaan normal muncul pada diri manusia moderen. Perbedaan kelas, jika memang ada, akan hilang secara signifikan. Dalam peperangan, seseorang akan kembali kepada fitrahnya sekalipun berpeluang untuk membedakan dirinya dari yang lain apapun keistimewaan yang melekat pada status sosialnya sebagai warga negara (Fromm, 2000:299-300). Inilah yang terjadi pada kelompok atau organisasi suporter sepakbola, dimana mereka saling bersatu padu untuk melindungi anggotanya dari serangan suporter lain. Sebuah kecintaan yang berlebih, itulah gambaran sederhana tentang fanatisme.
Di negara kita yang serba majemuk ini, sangat banyak terdapat kasus-kasus tentang fanatisme baik itu secara lokal maupun nasional. Contoh yang sangat kentara adalah dalam olahraga terutama sepakbola. Ditengah carut marut kondisi bangsa ini, sepakbola dianggap sebagai sebuah penyelamat, karena memberikan banyak efek yang sering diangap sebagai sebuah pelampiasan bagi orang-orang kecil. Sepakbola seperti halnya berlibur ke tempat-tempat eksklusif atau bahkan seperti sebuah hiburan yang tak ternilai bagi sebagian besar kalangan masyarakat kita. Atas dasar itulah maka dalam sepakbola fanatisme bisa dikatakan hal yang wajar.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik dan anarkisme suporter yaitu: (1) muatan dendam masa lalu, klub maupun suporter, (2) gesekan spontan di lapangan/tribun, (3) efek koor-koor provokatif, (4) efek dari hasil pertandingan dan provokasi dari dalam lapangan baik yang di lakukan oleh pemain, ofisial dan wasit. Dari beberapa faktor tersebut, faktor dendam di masa lalu tampaknya menjadi faktor yang menyebabkan kerusuhan dalam sepakbola senantiasa terjadi (Nugroho dalam Suyatna, 2007:18). Perilaku anarkis atau sadisme pada dasarnya adalah hasrat untuk menguasai manusia dan benda-benda secara tak terbatas, tak ubahnya Tuhan (Fromm, 2000:225).
Kerusuhan suporter di Indonesia, dikarenakan suporter sendiri salah kaprah dalam memaknai peran mereka sebagai seorang suporter. Secara ideal, dalam dunia sepakbola, suporter hanya merupakan subjek dan bukan objek. Jadi dalam hal ini, team sepakbolalah yang menjadi “artisnya”. Namun demikian di negara kita, beberapa kelompok suporter malah berlomba-lomba untuk menjadi ”artisnya“. Mereka malah berusaha memberikan hiburan melebihi team sepakbolanya bahkan dalam hal popularitas. Kelompok suporter yang seperti ini, bahkan melupakan hakekatnya sebagai pendukung dan penonton sepak bola. Akibatnya, suporter secara emosional malah lupa untuk membangkitkan semangat timnya,karena mengutamakan misinya. Mereka lupa untuk menikmati indahnya permainan sepakbola. Bahkan, mereka lupa untuk tujuan apa mereka datang ke stadion, karena mereka terlalu sibuk menampilkan nyanyian dan tariannya, padahal pertandingan sepakbola di tengah lapangan sedang berlangsung.
Kondisi inilah yang menyebabkan suporter di Indonesia menjadi mudah terpicu oleh aksi kerusuhan dan anarkisme. Dalam hal tersebut maka kita akan menguraikan bagaimana informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan meng- hasilkannya kembali. Proses pengolahan informasi, yang di sini kita sebut komunikasi intrapersonal, meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses penangkapan stimulus. Persepsi ialah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya, kembali. Berpikir adalah proses menyimpam informasi untuk memenuhi kebutuhan atau respon.
Even-even olahraga adalah sebuah contoh yang tepat dari drama-drama sosial. Tim-tim yang datang disuatu kompetisi sebagaimana tim-tim tersebut bermain dan mencapai hasil dengan saling mengalahkan satu sama lain, krisis spirit yang memuncak, dan fans mengambil bagian, senang, jengkel, dan kemudian kecewa. Tim-tim dan fans menghadapi suatu momen tertentu dengan cara-cara yang berbeda. Sebuah event olahraga utama menunjukan banyak aspek kebudayaan. Event olahraga ini mengajarkan kepada kita mengenai sportifitas (ksatria dan kejujuran), berkompetisi yang sehat, berkolaborasi, kesetiaan dan nilai-nilai yang lain. Even olahraga ini juga menunjukkan bagaimana bekerja dalam sebuah tim.


7. Anarkisme dan Kekerasan Supporter Sepakbola Di Indonesia
                        Aksi pelemparan botol-botol air mineral, batu, ejekan dan cemoohan terhadap pemain dari tim lawan yang berbau SARA, merupakan gambaran prilaku anarkis supporter didalam lapangan.Terjadinya kerusuhan oleh supporter yang kerap mewarnai persepakbolaan di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Baik dari segi keamanan, pemerintahan, panitia penyelenggara, perekonomian, sosiologis masyarakat dan banyak hal lain. Fenomena anarkisme yang kerap mewarnai pertandingan sepak bola juga ditenggarai oleh sikap atlet sepak bola Indonesia yang banyak belum menganut paham Sportivitas dan Fair Play dalam pertandingan olahraga sehingga berimbas pada kefanatisan supporternya.
                        Permusuhan sering menjadi penyebab timbulnya keributan dan kekerasan pada sepakbola. Banyak faktor yang dapat memicu terjadinya permusuhan dan salah satunya yaitu sikap agresif yang pada sepakbola sering diperlukan. Sikap agresif ialah sikap yang menunjukkan usaha yang aktif, menyusun berbagai strategi untuk menguasai permainan dan mencapai kemenangan. Menurut Y. Singgih D. Gunarsa (1989) mengatakan bahwwa ada beberapa faktor yang mempercepat timbulnya keributan dan kekerasan pada sebuah pertandingan olahraga beregu (sepakbola) diantaranya :
a)     Penggemar tidak realistis terhadap penampilan regu atau kesebelasannya, harapan terhadap kesebelasannya terlalu tinggi.
b)     Ikatan yang kuat antara penggemar dan kesebelannya.
c)     Hasil penampilan timnya pada pertandingan sangat berbeda.
d)     Wasit dan ofisial kurang kompeten, terlalu memihak pada salah satu tim yang bertanding.
e)     Permainan tim yang mencapai prestasi rendah akan menambah ketegangan, sebaliknya prestasi yang tinggi akan mengurangi ketegangan.
f)      Banyak pelanggaran pada permulaan pertandingan.
                        Agresivitas penonton terwujud dalam bentuk keributan seperti yang sering dilakukan BONEK, JAK MANIA dan VIKING. Agresifitas antara sesama penonton juga antar suporter lain yang berasal dari komunitas berbeda. Menurut pengamatan penulis hal itu terjadi karena komunitas antar suporter sehingga terbentuklah keadaan dimana antara sesama pendukung kesebelannya dan saling berkompetisi untuk merebut perhatian penonton.
                        Padahal menurut Fadly Hariri semua agresifitas pemain juga dapat terjadi dan biasanya disalurkan dalam bentuk kekerasan fisik, permainan kasar pada pemain lawan dalam pertandingan. Hal inilah yang kerap memicu terjadinya keributan disertai kekerasan dan berimbas pada perbuatan anarkisme dalam pertandingan sepak bola di Indonesia akhir-akhir ini. Tingkah laku agresif terlihat pada supporter dan pemain itu sendiri namun tingkah laku agresif supporter seringkali melebihi tingkah laku agresif pemain bahkan bisa memuncak sampai terjadi perusakan. Uji kemampuan cabang olahraga beregu seperti sepakbola tidak hanya diselingi oleh kekerasan fisik antar pemain, tetapi sering diakhiri dengan kekerasan fisik penonton. Peristiwa bentrokan fisik pada pertandingan ataupun seusai pertandingan terjadi dimana-mana.                                                                   
                        Perbedaan daerah administratif tempat tinggal juga dijadikan benteng untuk memulai permusuhan. Contohnya (pendukung PERSIJA Jakarta) yang notabene merupakan masyarakat Kota Jakarta dengan VIKING (pendukung PERSIB Bandung) yang terdiri dari masyarakat Kota Bandung. PERSIJA dan PERSIB dinobatkan sebagai musuh bebuyutan dalam liga sepak bola yang diselenggarakan di Indonesia. Padahal apabila ditinjau dari segi lokasinya, kedua provinsi ini letaknya sangat berdekatan. Supporter sebagai “pengikut setia” tim kesayangannya akhirnya mengikuti keadaan tersebut yang sebenarnya dan seharusnya hanya terjadi dalam dunia pertandungan sepakbola saja. Keikutsertaan supporter memusuhi tim sepakbola lain juga diikuti dengan memusuhi supporter tim lawannya. Hal inilah yang sering menimbulkan terjadinya pertengkaran yang memicu terjadinya tindakan anarkisme.
Beberapa faktor yang menyebabkanan terjadinya kekerasan dalam olahraga khususnya dalam sepakbola antara lain sifat olahraga, sistem skor permainan, desain fasilitas stadion, komsunsi alkohol dan narkoba yang berlebihan, media massa serta pihak keamanan atau polisi.
1.      Interpretif menciptakan banyak realitas dan fakta. Dalam wilayah ini pembahasan lebih terpusat tentang bagaimana sebuah realita diciptakan, bukan tentang bagaimana sebenarnya yang benar;
2.      Teori sosiokultural memusatkan pada bagaimana identitas terbentuk melalui interaksi dalam kelompok sosial dan kultur.
3.      Tradisi sosiokultural memfokuskan dalam pola interaksi antara masyarakat. Interaksi adalah suatu proses di mana maksud/arti, peran, aturan, dan nilai-nilai budaya terpecahkan. Dalam tradisi sosiokultural perlu dimengerti bagaimana masyarakat bersama-sama menciptakan realita kelompok sosial mereka, organisasi, dan kultur.
4.      Pengaruh tradisi sosiokultural terbagi menjadi tiga pendekatan yaitu, symbolic interactionism, constructionism dan sociolinguistic;
5.      Fanatisme merupakan sebuah sikap yang bisa dikatakan sikap yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan hal yang baik. Ketika kita menganut kepercayaan tertentu, maka sikap ideal yang harus kita ambil adalah percaya bahwa kepercayaan kita itulah yang paling benar. Sepakbola memberi kepercayaan, bahwa kita dapat mengerjakan segalanya, terutama di masa sulit, kemenangan dapat memberikan keberanian untuk terus maju dan bertahan
6.      Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang di bawah individu dalam suatu interaksi. Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
7.      Kekerasan pada akhirnya merupakan salah satu bentuk tindakan yang tidak terelakkan dari terjadinya konflik tersebut. Ada 4 tipe kekerasan yaitu: pertama, kekerasan kolektif formal seperti perang dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, kedua, kekerasan kolektif informal seperti kerusuhan sosial, ketiga, kekerasan individu formal seperti preman, carok, dan sebagainya dan keempat, kekerasan lain yang tidak sesuai dengan adat dan peraturan.
8.      Ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik dan anarkisme suporter yaitu: (1) muatan dendam masa lalu, klub maupun suporter, (2) gesekan spontan di lapangan/tribun, (3) efek koor-koor provokatif, (4) efek dari hasil pertandingan dan provokasi dari dalam lapangan baik yang di lakukan oleh pemain, ofisial dan wasit
9.      Kerusuhan suporter di Indonesia, dikarenakan suporter sendiri salah kaprah dalam memaknai peran mereka sebagai seorang suporter. Secara ideal, dalam dunia sepakbola, suporter hanya merupakan subjek dan bukan objek. Jadi dalam hal ini, team sepakbolalah yang menjadi “artisnya” bukan suporternya.
10.   Event olahraga ini mengajarkan kepada kita mengenai sportifitas (ksatria dan kejujuran), berkompetisi yang sehat, berkolaborasi, kesetiaan dan nilai-nilai yang lain. Event olahraga ini juga menunjukkan bagaimana bekerja dalam sebuah tim.
11.   Pemicu terjadinya keributan disertai kekerasan dan berimbas pada perbuatan anarkisme dalam pertandingan sepakbola di Indonesia antara lain; sifat agresifitas pemain seperti permainan kasar pada pemain lawan dalam pertandingan, perbedaan daerah administratif tempat tinggal juga dijadikan benteng untuk memulai permusuhan, serta keikutsertaan suporter memusuhi tim sepakbola lain juga diikuti dengan memusuhi supporter tim lawannya
12.   Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam olahraga khususnya dalam sepakbola antara lain sifat olahraga, sistem skor permainan, desain fasilitas stadion, komsunsi alkohol dan narkoba yang berlebihan, media massa serta pihak keamanan atau polisi.
Asrul Ananda, “Dari dalam merembet ke luar lapangan”. http://www.bola news.com.tgl akses 25 Juni 2011

Azyumardi   Azra, “Kerusuhan   Suporter”,   http://www.kompas.com   tgl   akses 5 Juni 2011 10.37pm

Haris Thofly,. SH, “Analisis Kriminologis Terhadap Kekerasan Suporter Sepakbola” Legality Jurnal Ilmiah Hukum.Vol 14.Sep2006-Feb2007

Hinca Pandjaitan, “Mengapa Pak Wali Tidak Boleh Masuk Stadion”. http//www.mdo.com tgl 15 Mei 2011

Jay. Coakley. 2003. Sports In Society: Issues And Controvesrsies. Eight Edition. University of Colorado

Larry A. Samovar dan Richard E. 1976. Porter Intercultural Communication, A Reader.

Lutan, Rusli. Olahraga dan Etika Fair Play. 2001. Diterbitkan oleh Direktorat Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi Olahraga, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Mulyana W.Kusumah, 1987,“Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar) Ringkas”, Armico,Bandung

Nofie Iman, “Sepakbola, emosi dan kerusuhan“. http//www.google.com tgl akses 1 mei 2011.

Yesmil Anwar, “Menegpora Minta Kapolri Tindak Tegas Pelaku Kerusuhan Sepak Bola”. http://www.detik.com. 2 Desember 2007

_____http://publikasi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/1009/776

______http://eprints.umm.ac.id/3689/1/Kajian Yuridis Sosiologis Perkelahian Antar Pemain.

3 komentar:

  1. PROMO MEMBER BARU 15%

    DewaZeus merupakan bagian dari situs ZeusBola, yg merupakan mater mater taruhan judi bola, Casino, Poker, taruhan sabung ayam online S128, CF88 DewaPoker, Live Casino Dealer Resmi Lisensi Filipina Paling Terpercaya di Indonesia, hanya di Zeusbola.

    Yang Merupakan Cabang Bola Sbobet Indonesia Terpercaya, ZeusBola telah berkerja sama dgn perseroan Sbobet beroperasi di Asia yg dilisensikan oleh First Cagayan Leisure & Resort Corporation, Manila-Filipina dan di Eropa dilisensikan oleh pemerintah Isle of Man bagi beroperasi juga sebagai juru taruhan olahraga sedunia.

    https://dewazeus.site/tips-penting-memilih-agen-poker-online-deposit-via-pulsa-terpercaya/
    https://dewazeus.site/situs-poker-online-deposit-via-pulsa-termurah-hanya-25rb/
    link whatsapp zeusbola

    Ayo daftar sekarang di dewazeus.site

    BalasHapus
  2. BISA DEPOSIT via GoPay

    CemePoker yakni cabang Poker Online, Domino, Ceme, dan Capsa yg sediakan beraneka banyak game dgn 1 user ID saja dan cemepoker di anugerahkan sebagai agen judi poker bersama rating win tertinggi.
    poker online menjamin 100% keamanan sekitar membernya serta pemain Poker hamba dijamin 100% Player VS Player.
    janganlah silap nantikan sawab merampas setiap bulannya dan pahala referal seangkatan hidup

    https://www.pokerceme.info/daftar-poker-online-deposit-via-ovo/

    Ayo gabung sekarang di cemepoker ---> http://104.248.153.37/

    BalasHapus
  3. JAGUARQQ | DOMINO 99 | POKER | BANDARQ ONLINE
    * Dengan Minimal Deposit : Rp 15.000,-
    * Tersedia 9 Game Dalam 1 User ID
    + BandarQ
    + ADUQ 1120011279200 Ref:
    + SAKONG
    + DOMINO99
    + BANDAR66
    + POKER
    + BANDAR POKER
    + CAPSA SUSUN
    + PERANG BACCARAT
    * Bonus Rollingan 0,5% Setiap minggu
    * Bonus Referal 20% Seumur hidup
    - Kontak Kami -
    WA : +855964608606
    TELEGRAM : +855964608606
    LINE : csjaguarqq
    Website : 99jaguar
    Twitter : JaguarQQ

    BalasHapus