Selasa, 16 April 2013

Etika dan Moral dalam Penjas dan Olahraga menuju olahraga prestasi


ETIKA DAN MORAL DALAM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA
MENUJU OLAHRAGA PRESTASI
 (Perspektif Filsafat Nilai-Nilai Penjas dan Olahraga)

Oleh : Andi Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNM


Pendidkan Jasmani dan olahraga dewasa ini kian meluas dan memiliki makna yang bersifat universal dan unik. Berawal dari sekedar kegiatan fisik yang menyehatkan badan, mengisi waktu luang, dan media eksistensi diri, akhirnya bergeser menjadi kegiatan yang multi kompleks, telah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh fenomena-fenomena lain seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. Sebagai sebuah fenomena global sekaligus miniatur kehidupan, olahraga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek-aspek kehidupan, seperti aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, kesehatan, moral, dan Iain-lain. Disebut sebagai miniatur kehi­dupan karena aktivitas olahraga sangat sarat dengan gambaran-gambaran kehidupan yang sebenarnya. Tidak heran jika kian hari kedudukannya kian penting dan menempati tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan Jasmani dan olahraga merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga pendidikan jasmani dan olahraga memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia memiliki tujuan kepada keselarasan antara tubuhnya badan dan perkembangan jiwa, dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa indonesia yang sehat lahir dan batin, diberikan kepada segala jenis sekolah. (UU no 4 th 1950, tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah bab IV pasal 9) Pendidikan jasmani mempunyai tujuan pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual. Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna (Baron Piere de Coubertin) 
Uraian di atas memperjelas bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan ‘alat’ pendidikan, sekaligus pembudayaan. Proses ini merupakan sebuah syarat yang memungkinkan manusia mampu terus mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai manusia. Pendidikan adalah segenap upaya yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukkan kepribadian, termasuk perubahan perilaku, karena itu pendidikan jasmani dan olahraga selalu melibatkan dimensi sosial, disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan dan unjuk ‘kebolehan’.
Dimensi sosial ini melibatkan hubungan antar orang, antar peserta didik sebagai sebagai fasilitator atau pengarah. Kondisi saat ini ketika masyarakat Indonesia menghadapi permasalahan perekonomian yang berkepanjangan, tidak terlepas dari etika dan moral bangsa yang sudah ‘bobrok’, praktek KKN yang sudah membudaya di seluruh kalangan pemerintah, budaya bangsa yang luhur mulai terkikis sedikit demi sedikit. Anak banyak yang tidak menghargai gurunya bahkan orang tuanya. Fenomena dalam pendidikan jasmani saat ini, banyak anak yang enggan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani karena terkesan membosankan dan menjemukan begitu pula dibidang olahraga prestasi yang sering terlihat di media televisi atlet memukul wasit, tawuran antar penonton, atlet dan official. Hal ini merupakan cerminan lunturnya nilai-nilai yang ada di olahraga yaitu Sportifitas (nilai kejujuran dan ksatria) yang merupakan rohnya para pelaku olahraga yang diharapkan dapat diaplikasikan nilai-nilai olahraga tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah moral di Amerika menjadi salah satu isu pendidikan yang diangkat dalam membentuk manusia  Amerika, mengingat orang Amerika pernah terkejut pada awal 1985 ketika mereka mengetahui bahwa pemenang medali cabang balap sepeda pada Olimpiade yang berasal dari USA mengakui telah mendoping darah sebelum kompetisi. Ditambah lagi 86 atlet Amerika dari berbagai cabang gagal melewati tes obat-obatan yang diadakan oleh Komite Olahraga Amerika Serikat, sembilan bulan sebelum pertandingan pada tahun 1984. Belum lagi kasus kematian pelari Belanda di Universitas Amerika membawa pada penemuan secara tidak sengaja tentang penggunaan secara luas resep obat yang didapatkan secara ilegal oleh atlet mahasiswa, yang disuplai oleh pelatih kampus.
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani dan olahraga menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan  karakter. Pengajaran etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar atau pelatih tidak baik berkata kepada muridnya atau atletnya untuk memperlakukan orang lain secara adil kalau dia tidak memperlakukan murid/atletnya secara adil. Selain dari pada itu pendidikan jasmani dan olahraga begitu kaya akan pengalaman emosional. Aneka macam emosi terlibat di dalamnya.
Kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga yang berakar pada permainan, ketrampilan dan ketangkasan memerlukan pengerahan energi untuk menghasilkan yang terbaik. Pantas rasanya jika kita setuju untuk mengemukakan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dasar atau alat pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan cognitif, afektif dan psikomotor yang behavior dalam membentuk kemampuan manusia yang berwatak dan bermoral.
Dalam tulisan ini akan lebih dibahas tentang etika dan permasalahan dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Dengan mencoba mengkomperkan dan menanalisis serta memyusun rekomendasi yang memungkinkan dalam pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga.
Berdasarkan latar belakang di atas, agar tulisan ini lebih mengarah maka pembahasan akan lebih di fokuskan pada:

1.       Bagaimana hakikat etika dan moral?
2.       Bagaimana hakikat penidikan jasmani dan olahraga?
3.       Bagaimana proses pengajaran etika dan moral dalam pendidikan jasmani dan olahraga?
4.       Bagaimana pendidikan etika dan moral membentuk manusia secara utuh?
5.       Bagaimana aplikasi moral dalam olahraga?
Masalah tersebut akan dicoba dibahas dalam tulisan ini dari segi teori dan analisis pendidikan jasmani dan olahraganya.

Etik atau sering kita lafalkan dalam istilah etika adalah sebuah studi analitik, studi ilmiah tentang landasan teoretis tindakan moral. Studi tentang etika sering dikategorikan sesuai dengan profesi seperti etika hukum, etika bisnis, etika kedokteran, etika coaching (pelatihan), dan Iain-lain. Etika juga dapat dibagi menjadi mateetik, etik analitik, dan etik kritis.
Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Menurut Rusli Lutan (2001) mengatakan tentang etika secara khas berhubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama[1]. Sedangkan menurut (Franz Magnis Suseno,1989) mengatakan bahwa etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral.
Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkapkan kerancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat moral yang dikemukakan dipertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.[2]
Dalam etika mengembangkan diri, Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani dan olahraga tidak asing baginya, yaitu sportifitas (ksatria dan kejujuran), semangat berkompetisi secara sehat, fair play nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler dalam (Rusli Lutan,2001) dikemukan sebagai berikut: Mengembangkan diri, melepaskan diri, menerima diri.[3] Sedangkan menurut (Freeman,2001) menyebutkan bahwa etika terkait dengan  moral dan tingkah laku, menjelaskan aturan yang tepat tentang sikap. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang lakukan atau tidak. Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan buruk.[4]
Scott Kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.[5]
Moral berasal dari bahasa Latin mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. Dalam pengertian teknis, moral menunjukan apakah perbuatan seseorang baik atau buruk, bijak atau jahat. Atau karakter bertanggung jawab. Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat sedangkan etika adalah studi tentang moral. Menurut Freeman (2001) etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya.[6]
Menurut Franz Magnis Suseno (1987) mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku. Norma diatas merupakan norma khusus, sedangkan norma umum ada tiga macam seperti: norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral. Norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia.[7]
Namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.  Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sanksi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi  tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum. Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab penilaian moral selalu berbobot.
Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral.[8] Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan “kantong kebajikan” (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandaskan nilai yang diharapkan.
Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman.[9]  Suseno melihat terdapat tiga prinsip dasar dalam moral, yaitu  prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan.[10]
Prinsip keadilan dimana keadilan tidak sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan. Prinsip hormat terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi. Bagaimana kita mengajarkan etika dan nilai moral? Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Menurut Rusli Lutan mengatakan nilai moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas dll. Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal[11] yaitu :
1)       Keadilan
Keadilan ada dalam beberapa bentuk; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif.  Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya. Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahan menyentuh bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti.
2)       Kejujuran
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan. Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
3)       Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.
4)       Kedamaian
Kedamaian mengandung pengertian: a) tidak akan menganiaya, b) mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d) berbuat  baik. Bayangkan bila ada pelatih yang mengintrusikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu bermain? Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu: 1) Keadilan dan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan, 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001)[12]
a)        Keadilan dan Persamaan; Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Sering kali anak didik yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
b)      Respek terhadap diri sendiri; Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
c)       Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain; Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.
d)      Menghormati peraturan dan kewenangan; Pelajar dan atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi
e)       Rasa terhadap perspektif atau nilai relative; Beberapa pertanyaan tentang gunanya berolahraga perlu dipertimbangkan diantaranya ; a) seberapa penting olahraga, b) apakah hubungan yang tepat antara olahraga dalam filosofi pendidikan kita?, c) Seberapa penting suatu kemenangan dan d) apa yang menjadi integritas akademik kita? Pendidik jasmani dalam proses pendidikan sebaiknya mengembangkan karakter, karakter menurut David Shield dan Brenda Bredemeir adalah empat kebajikan dimana seseorang mempunyai karakter bagus menampilkan; compassion (rasa belas kasih), fair ness (keadilan), sportsmanship (ketangkasan) dan integritas.[13]
Dengan adanya rasa belas kasih, murid dapat diberi semangat untuk melihat lawan sebagai kawan dalam permainan, sama-sama bernilai, samasama patut menerima penghargaan. Keadilan melibatkan tidak keberpihakan, sama-sama tanggung jawab. Ketangkasan dalam olahraga melibatkan berusaha secara intens menuju sukses.

Filsafat olahraga, seperti filsafat lainnya, dalam olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami secara mendalam. Konsep ini bersifat abstrak yaitu ‘mental image’. Walau kita tahu bahwa konsep ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu, walau  perbedaan makna pada setiap individu berbeda-beda tentang ini. Menurut Abdul Kadir Ateng (1986) menyatakan bahwa konsep dasar tentang keolahragaan beragam, seperti bermain (play), pendidikan jasmani (physical education), olahraga (sport), rekreasi (recreation), tari (dance). Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa, kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran.[14]
Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa riang dan gembira. Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar. Dalam bermain pendidikan etika yang ada tidak mengenal pada suatu ajaran tertentu, karena anak bermain tidak melihat sisi religius teman dan bentuk permainan, karena tidak ada aturan dalam hal religus dalam bentuk permainan. Pendidikan etika disini yang membetuk manusia yang baik dan kritis, sehingga proses pemberian pembelajarannya lebih bersifat mengembangkan daya pikir kritis  dengan mengamati realitas kehidupan. Seperti melihat harimau, maka anak akan meniru gaya harimau yang menerkam mangsa, simangsa sudah tentu adalah teman sepermainannya. Bermain dalam alam anak memberikan konsep anak bertanggung jawab terhadap permainan tersebut.
Memurut Rusli Lutan (2002) menyatakan bahwa olahraga (sport) yang merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan geraknya (performa) dan kemauannya semaksimal mungkin, akan tetapi perkembangan teknologi memungkinkan faktor mesin menjadi  techno-sport, seperti balap mobil, balap motor, yang banyak tergantung dengan faktor mesin. Olahraga bersifat netral dan umum, tidak digunakan dalam pengertian olahraga kompetitif, karena pengertiannya bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi (informal).[15]
Olahraga berasal dari dua suku kata, yaitu olah dan raga, yang berarti memasak atau memanipulasi raga dengan tujuan membuat raga menjadi matang (Ateng, 1993), Olahraga digunakan untuk segala jenis kegiatan fisik, yang dapat dilakukan di darat, air, maupun di udara.[16] Kemal dan Supandi mengungkapkan beberapa definisi olahraga ditinjau dari kata asalnya (1990), yaitu (1) disport/disportare, yaitu bergerak dari suatu tempat ke tempat lain (menghindarkan diri). Olahraga adalah suatu permulaan dari dan menimbulkan keinginan orang untuk menghindarkan diri atau melibatkan diri dalam kesenangan (rekreasi), (2) field sport, mula-mula dikenal di inggris abad ke-18. Kegiatanya dilakukan oleh para bangsawan/aristocrat, terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu menembak dan berburu pada waktu senggang. (3) despoter, berarti membuanglelah (bahasa perancis). (4) sport, sebagai pemuasan atau hobi (ensiklopedia Jerman). (5) olahraga, latihan gerak badan untuk menguatkan badan, seperti berenang, main bola, dsb. Olahraga adalah usaha mengolah, melatih raga/tubuh manusia untuk menjadi sehat dan kuat.[17]
Pendidikan jasmani pada dasarnya bersifat universal, berakar pada pandangan klasik tentang kesatuan erat antara “body and mind”, Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional. Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak  sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai “pengarah” agar kegiatan yang lebih bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.
Harsono (1988) mengemukakan bahwa olahraga pada hakikatnya Adalah "the big muscles activities".[18] Hampir sama dengan pendapat Kemal dan Supandi (1990) yang menjelaskan bahwa olahraga pada hakikatnya adalah "aktivitas otot besar yang menggunakan energi tertentu untuk meningkatkan kualitas hidup". Hal ini agak berbeda dengan Abdul Kadir Ateng (1993) mengungkapkan bahwa "ciri-ciri hakiki olahraga adalah: (1) aktivitas fisik, (2) permainan, (3) pertandingan, Ketiganya dipayungi semangat fair play/sportif.[19] Satu-satunya ciri hakiki olahraga yang tertinggal utuh adalah pertandingan, karena itu dikatakan tak ada olahraga tanpa pertandingan. Definisi lain dari olahraga antara lain menurut Rusli Lutan, dkk. (1997) yang mengungkapkan bahwa olahraga "adalah perluasan dari bermain".[20] Menpora RI mengungkapkan bahwa olahraga adalah bentuk-bentuk kegiatan jasmani yang intensif dalam rangka memperoleh rekreasi, kemenangan dan prestasi optimal (Menpora RI).
Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak. Karakter anak didik yang dimaksud tentunya tidak lepas dari karakter bangsa Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukan oleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikan nilai di sekolah. Saran yang bisa diangkat yaitu :
1)       Seluruh suasana dan iklim di sekolah sendiri sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuhkembangkan penghayatannya dalam diri peserta didik. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai keadilan kepada para peserta didik, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka di sekolah itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. (Seperti praktek jual-beli soal, mark up nilai, pemaksaan pembelian buku dsb).
2)       Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat secara instintif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta didiknya, ia akan lebih disegani.
3)       Semua pendidik di sekolah, terutama para guru pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara kurikuler maupun non/ekstra kurikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi.
4)       Secara kurikuler pendidikan nilai yang membentuk sikap dan perilaku positif juga bisa diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri, misalnya dengan pendidikan budi pekerti. Akan tetapi penulis tidak menyarankan untuk di lakukan.
5)       Melalui pembinaan rohani siswa, melalui kegiatan pramuka, olahraga, organisasi, pelayanan sosial, karya wisata, lomba, kelompok studi, teater, dll. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut para pembina melihat peluang dan kemampuannya menjalin komunikasi antar pribadi yang cukup mendalam dengan peserta didik.

Isu sentral yang sering terjadi dalam kegiatan olahraga adalah banyaknya pelanggaran yang dilakukan baik oleh atlet, pelatih, maupun masyarakat luas. Perilaku tersebut ada yang sudah direncanakan sebelumnya, ada yang spontan karena tidak dapat mengendalikan emosinya, ada pula yang dilakukan tanpa didasari dan tiba-tiba masuk ke dalam perkelahian massal dan sebagainya. Contoh proses tersebut tidak akan terjadi apabila seluruh pelaku olahraga dapat memahami dan mengaplikasikan penalaran moral dalam olahraga. Untuk lebih rincinya tentang aplikasi penalaran moral dalam olahraga, berikut ini disajikan tiga sub bagian dari penalaran moral, yaitu (a) kesadaran untuk bermain sportif, (b) mengetahui, menilai dan berbuat (c) implikasi dalam praktik. Ketiga sub bagian ini akan dijelaskan sebagai berikut:
a)       Kesadaran Untuk Bermain Sportif
Dalam sebuah pertandingan sepak bola, sejak awal pertandingan pemain A berniat untuk mencederai pemain lawan yang konflik. Apa yang diketahui sebagai sesuatu yang baik, boleh jadi bertentangan dengan kepercayaan yang telah melekat pada diri pribadi seseorang.

b)      Mengetahui, Menilai dan Berbuat
Pada komponen pengetahuan moral terdapat unsur lainnya yakni kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai moral, perhitungan ke depan, pertimbangan moral, pembuatan keputusan. Pengetahuan moral merupakan satu fase kognitif dalam belajar tentang isu moral dan bagaimana memecahkannya. Tahap ini berkenaan dengan pengetahuan tentang isu moral dan dilema, mengetahui apa yang menjadi keyakinan dan memberlakukan nilai berkaitan dengan dilema, dan akhirnya mengetahui bagaimana membuat pertimbangan sehubungan dengan dilemah sampai akhirnya ditemukan hal yang baik untuk dilakukan.
Selanjutnya, penalaran dan pertimbangan moral selalu berlandaskan pada apa yang kita yakini atau percayai mengenai diri kita, masyarakat, dan orang lain di sekitar kita. Inilah yang disebut penilaian moral. Tahap penalaran dan pertimbangan nilai moral ini mengetengahkan pertanyaan: apa yang terbaik bagi saya? Apakah kemenangan di atas segala-galanya? Apakah proses lebih baik daripada hasil? Apakah ada hal lain yang lebih penting daripada kemenangan? Pertimbangan moral yang memberlakukan nilai tertentu, berkaitan langsung dengan empati, pengendalian diri, dan kesadaran bahwa kita berbuat terhadap orang lain. Adapun berbuat atau tindakan moral perilaku yang nampak yang dinyatakan dan sejalan dengan sistem nilai yang dianut. Tindakan moral ini bergantung pada kompetensi tentang isu moral dan nilai kita sendiri. Apa yang kita yakini baik akan mempengaruhi keputusan kita untuk berbuat yang baik. Persoalanyaya adalah apakah kita memiliki keberanian untuk berbuat sesuai dengan keyakinan kita? Pada akhirnya tindakan moral itu bergantung juga pada kebiasaan hidup sehari-hari. Apakah berbuat sesuatu yang "baik" telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari?
c)       Implikasi dalam Praktik
Sampai disini, muncul pertanyaan pokok terkait dengan ketiga faktor di atas (mengetahui, menilai, dan berbuat), bagaimana penerapan ketiga faktor tersebut dalam siatuasi olahraga? Ketiga fase itu mempengaruhi keputusan moral. Berkaitan dengan persoalan ini sangat penting untuk dihayati bahwa olahraga dan pendidikan jasmani adalah kegiatan yang tidak bebas nilai, dan justru merupakan gelanggang untuk membina moral. Coba bayangkan, meskipun anda tidak pernah bermain golf, namun perlu dipahami kegiatan olahraga itu merupakan sebuah cabang olahraga yang benar-benar menuntut sportifitas. Setiap sentuhan atau pukulan terhadap bola semuanya memiliki arti, karena permainan ini menekankan pada performa dalam bentuk jumlah pukulan sesedikit mungkin hingga bola masuk ke dalam lubang yang dihitung sejak pukulan pertama. Tidak ada wasit secara langsung mengawasi pemain, dalam situasi demikian sungguh mungkin pemain berbuat curang. Meskipun dalam praktik antara pemain saling mengawasi. Olahraga ini benar-benar membutuhkan sportifitas.

Penulis mencoba merekomendasikan beberapa hal tentang pendidikan nilai dalam pendidikan jasmani berdasarkan latar belakang dan teori, diantaranya:
a)    Pendidikan jasmani dan olahraga merupakan alat pendidikan, sekaligus pembudayaan.
b)   Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani dan olahraga menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan pengembangan karakter.
c)    Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani dan olahraga tidak asing baginya, yaitu sportifitas (ksatria dan kejujuran), semangat berkompetisi secara sehat, fair play, nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius
d)    Pendidikan etika konsepnya bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan contoh-contoh yang konstruktif.
e)    Pendidikan jasmani sebagai alat pendidikan mempercepat anak dalam mengembangkan konsep tentang moral.
f)     Mengamati realitas moral secara kritis, akan lebih dekat pada bentuk permainan, dimana mengamati realitas moral merupakan pendidikan etika.
g)    Ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu keadilan, kejujuran, tanggung jawab dan kedamaian mengandung pengertian: a) tidak akan menganiaya, b) mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d) berbuat  baik.
h)    Dukungan lingkungan sekolah dan masyarakat harus dijaga untuk menjaga iklim lingkungan sosial yang baik, agar mendukung pendidikan etika dan nilai.
i)      Aplikasi penalaran moral dalam olahraga yaitu (a) kesadaran untuk bermain sportif, (b) mengetahui, menilai dan berbuat (c) implikasi dalam praktik


a)  Disarankan kepada guru pendidikan jasmani dan pelatih dapat mengajarkan nilai dan etika diluar jam pelajaran, terutama saat ektra kurikuler, kegiatan pramuka, organisasi klub olahraga sekolah dengan melihat peluang yang tepat dalam pendekatan individu.
b)  Disarankan agar pengajaran etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar atau pelatih tidak baik berkata kepada muridnya atau atletnya untuk memperlakukan orang lain secara adil kalau dia tidak memperlakukan murid/atletnya secara adil.
c)    Disarankan untuk membuat mata pelajaran tentang budi pekerti, tetapi hal ini perlu pembicaraan sesama seksama.
d)    Dalam rangka menciptakan manusia seutuhnya maka disarankan agar semua nilai atas pendidikan jasmani dan olahraga yaitu sportifitas (ksatria dan kejujuran), semangat berkompetisi secara sehat, fair play, nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religious dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.









DAFTAR PUSTAKA

                  
Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.

_________________, (2000), Kuasa & Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka  Utama.
Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta: CV Tambak kusuma.

Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru, 70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.

Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher,  Australia: Printice hall.

Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.  Berdua Satu tujuan.

Rusli lutan, Sumardiyanto, 2002, filasafat olahraga. Depdiknas, Dirjen Dikdasmen.

William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing society. Boston: Allyn & Bacon.

Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education. New York: Routledge.

Wuest, D.A. and Butcher, C.A. (1995). Foundation of Physical Education and Sport. St. Louis: Mosby. Zeigler Erie F, (1988) 











DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI 


[1]   Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.  Berdua Satu tujuan.
[2]   Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.
[3]   Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.  Berdua Satu tujuan.
[4]   William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing society. Boston: Allyn & Bacon.
[5]   Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher,  Australia: Printice hall.
[6]   William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing society. Boston: Allyn & Bacon.
[7]   Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.
[8]   Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru, 70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.
[9]  Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education. New York: Routledge.
[10] Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.
[11] Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.  Berdua Satu tujuan.
[12] William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing society. Boston: Allyn & Bacon.
[13] Wuest, D.A. and Butcher, C.A. (1995). Foundation of Physical Education and Sport. St. Louis: Mosby. Zeigler Erie F, (1988). 
[14]   Abdul Kadir Ateng, 1986, Asas dan landasan penjas, DIKTI, Jakarta.
[15] Rusli lutan, Sumardiyanto, 2002, filasafat olahraga. Depdiknas, Dirjen Dikdasmen.
[16] Abdul Kadir Ateng, 1986, Asas dan landasan penjas, DIKTI, Jakarta.
[17] Kemal dan Supandi . 1990. Modifikasi Olahraga dan Model Pembelajaran Sebagai Strategi Pembinaan Olahraga Usia Dini Bernuansa Pendidikan. Depdikbud. IKIP  Bandung.
[18] Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta: CV Tambak kusuma.
[19] Abdul Kadir Ateng, 1986, Asas dan landasan penjas, DIKTI, Jakarta.
[20] Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.  Berdua Satu tujuan.

3 komentar:

  1. Suatu penjelasan yang lengkap bagaimana pentingnya Pendidikan etika dan moral dalam segala bidang termasuk jasmani dan olah raga. Sesuatu pendidikan yang sering diabaikan oleh orang tua. Pendidikan ini sama pentingnya dengan pendidikan prestasi lainnya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih kakanda atas materinya. dengan ini saya sangat terbantu dengan tugas yang saya diberikan oleh Dosen. :)

    BalasHapus