Selasa, 16 April 2013

MENGGAGAS KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI YANG SEIMBANG DAN EFEKTIF DENGAN ORIENTASI MASA DEPAN


MENGGAGAS KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI
YANG SEIMBANG DAN EFEKTIF DENGAN ORIENTASI MASA DEPAN

Oleh: Andi Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNM


I.     PENDAHULUAN

Rendahnya mutu kebugaran jasmani siswa sekolah dari seluruh jenjang pendidikan di Indonesia dapat dijadikan satu petunjuk umum bahwa mutu program pendidikan jasmani di Indonesia masih sangatlah rendah. Dari survey yang dilakukan oleh Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas terdahulu, diperoleh informasi bahwa hasil pembelajaran Penjas di sekolah secara umum hanya mampu memberikan efek kebugaran jasmani terhadap kurang lebih 15 persen dari keseluruhan populasi siswa. Sedangkan dalam penelusuran sederhana lewat test Sport Search dalam aspek yang berkaitan dengan kebugaran jasmani siswa SMU, siswa Indonesia rata-rata hanya mencapai kategori "Rendah" (Ditjora, 2002)[1].
Rendahnya mutu hasil pembelajaran pendidikan jasmani pun dapat disimpulkan dari keluhan masyarakat olahraga yang mengindikasikan bahwa mutu bibit olahragawan usia dini dari sekolah-sekolah kita sangat rendah. Keluhan ini dapat dikaitkan dengan tiga hal. Pertama, para calon atlet kita rata-rata mengandung kelemahan dalam hal kemampuan motoriknya, dari mulai kecepatan, kelincahan, koordinasi, keseimbangan, dan kesadaran ruangnya; kedua, para calon atlet kita pun sekaligus memiliki kekurangan dalam hal kemampuan fisik (kebugaran jasmani), terutama dalam hal daya tahan umum, kekuatan, kelentukan, power, dan daya tahan otot lokal. Ketiga, penanaman nilai-nilai sportifitas olahraga (kejujuran, ksatria, kedisiplinan, dll) pada saat proses belajar mengajar tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Belum lagi jika ukuran kinerja atau efektivitas PBM Penjas tersebut dinilai dari aspek lain yang seharusnya terintegrasi dalam Penjas. Ambil misal kualitas proses yang seharusnya dapat terlihat dari Penjas yang baik, seperti bagaimana guru menerapkan model pengembangan disiplin, pengajaran yang bernuansa DAP, kesadaran guru dalam mengembangkan bukan hanya aspek fisik dan motorik, tetapi aspek kognitif dan afektif (mental sosial serta moral anak), yang dipercayai oleh para ahli dapat mengembangkan nilai-nilai dan karakter positif pada diri anak.
Disisi lain seringnya terlihat di media massa terjadinya tawuran dikalangan peserta didik (siswa dan mahasiswa), hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan jasmani dan olahraga belum mampu memberikan peranan yang maksimal dalam hal pengembangan ranah afektif dikalangan peserta didik yaitu penanaman nilai-nilai sportifitas olahraga dan fair play (kejujuran, adil, ksatria, tunduk pada aturan, disiplin, hormat terhadap lawan, tegas dan berwibawa, rendah hati serta semangat kompetitif). Nilai-nilai tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika nilai-nilai penjas dan olahraga (sportifitas dan fair play) tersebut diaplikasikan oleh seluruh elemen pemimpin bangsa ini, maka niscaya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi penyakit moral bangsa ini akan semakin berkurang.
Berdasarkan uraian diatas maka yang perlu dilakukan adalah analisis apa yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan sistem penjas dan olahraga?. Salah satu sistem dari sekian banyak faktor untuk mencapai tujuan penjas dan olahraga adalah kurikulum. Outpun dari kurikulum sekarang ini dimana salah satu indikatornya adalah rendahnya mutu pendidikan jasmani yang ditandai dengan “menurunnya tingkat kebugaran jasmani peserta didik di Indonesia yang didasari atas survey serta menurunnya nilai-nilai moral (kejujuran) baik dari kalangan guru maupun peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa Pendidikan Jasmani dan olahraga belum memberikan hasil maksimal dalam peningkatan manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini mungkin disebabkan karena kurikulum yang dikembangkan tidak seimbang dan efektif dengan orientasi  masa depan?
Oleh karena itu maka makna penting pendidikan jasmani dan olahraga serta manfaatnya bagi pengembangan kepribadian manusia rasanya tidak dipersoalkan lagi. Justru yang menjadi masalah adalah apakah pengembangan sistem penjas dan olahraga dalam hal ini kurikulumnya sudah seimbang dan efektif dengan berorientasi masa depan? Apakah pendidikan jasmani sebagai faktor penting pembentukan manusia seutuhnya telah ditempatkan secara proporsional? Apakah pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan jasmani? Apakah dalam implementasinya telah didukung oleh sumberdaya yang memadai? Apakah pembelajaran yang telah dilakukan mampu mengembangkan-individu secara utuh? Mengapa mutu hasil pembelajaran penjas dan olahraga di Indonesia bisa sedemikian rendah. Apakah karena faktor guru yang juga kualitasnya rendah, ataukah disebabkan faktor lain seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai? Ataukah semua kelemahan ini harus dialamatkan pada kurikulum yang tidak relevan, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pentingnya pendidikan jasmani? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hakikatnya tidak dapat diiepaskan dari pertanyaan dasar, yaitu: apakah kurikulum yang dikembangkan telah seimbang dan efektif dengan orientasi kedepan?
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa mutu hasil pembelajaran penjas dan olahraga di Indonesia bisa sedemikian rendah. Apakah karena faktor guru yang juga kualitasnya rendah, ataukah disebabkan faktor lain seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai? Ataukah semua kelemahan ini harus dialamatkan pada kurikulum yang tidak relevan, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pentingnya pendidikan jasmani?

II.      PEMBAHASAN

A.     Pengertian Kurikulum dan Pemasalahannya

Kurikulum sering didefinisikan secara berbeda, tergantung luas dan sempitnya sudut pandang yang digunakan para pemakainya. Secara luas, oleh Jewet et al.,(1995) kurikulum diartikan sebagai keseluruhan pengalaman siswa yang ditemui di lingkungan persekolahan, dari mulai yang berlangsung formal di dalam kelas, hingga kegiatan ekstra di lapangan olahraga[2]. Sedangkan secara khusus, kurikulum diartikan sebagai suatu rangkaian yang terencana dari pengalaman-pengalaman pengajaran formal yang disajikan oleh guru di dalam kelas. Masih sejalan dengan Jewet et al., Macdonald (2000) mendefinisikan kurikulum sebagai suatu lingkungan budaya yang dipilih secara bertujuan. Artinya, kurikulum adalah sebuah studi tentang "apa yang harus ada dalam dunia belajar dan bagaimana caranya membuat dunia itu"[3].
Para ahli juga berbeda pendapat dalam hal penggunaan istilah kurikulum ketika ia berhubungan dengan istilah pengajaran (instruction). Kurikulum lebih sering digunakan sebagai sebuah istilah umum yang luas, termasuk di dalamnya pengajaran. Jika perbedaan di antara kedua istilah itu ditarik secara tegas, kurikulum diartikan sebagai suatu rencana dari agensi kependidikan yang memfasilitasi terjadinya pembelajaran sedangkan pengajaran diartikan sebagai suatu system penyampaian, atau kumpulan dari sejumlah transaksi kependidikan, yang didalamnya memuat proses pengajaran-pembelajaran untuk melaksanakan rencana tersebut.
Masalahnya, ketika secara teoritis keduanya dapat didiskusikan secara terbuka, dalam praktik keduanya bersifat interaktif dan tidak mudah dipisah-pisahkan. Artinya, amat mudah menyusun kurikulum sebagai sebuah rencana yang tersusun sebagai sebuah dokumen, tetapi manakala keseluruhan rencana itu diimplementasikan, maka kurikulum tadi melunat menjadi segala perilaku guru dan siswa yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga bukan hanya dokumen kurikulum yang harus baik, tetapi termasuk ditentukan oleh kompetensi guru dan lingkungan di mana kurikulum tersebut diimplementasikan.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah, ketika mutu pembelajaran Penjas di Indonesia disinyalir masih amat rendah, benarkah yang harus dipersalahkan dan serta-merta segera diganti adalah kurikulum? Jika yang dimaksud dengan perubahan kurikulum adalah juga perubahan dalam bagaimana guru menetapkan paradigma pembelajarannya termasuk lingkungan di mana pembelajaran berlangsung, maka tentu saja Indonesia perlu merumuskan kurikulum barunya sesegera mungkin, agar secara sistematis program penjas di Indonesia dapat direvitalisasi secara utuh.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidaklah mudah. Diperlukan penelusuran cermat yang melibatkan berbagai alat telaah multidisipliner, baik yang melibatkan tinjauan dari aspek filosofis, sosiologis, psikologis, budaya, ekonomi serta politik. Namun dalam wilayah praktis, kita dapat mendekati permasalahan ini dalam hubungannya dengan kemampuan guru dan kurikulum yang diberlakukan dalam program Penjas dan olahraga di Indonesia. Kemampuan guru harus ditelusuri dari segi nilai acuan (value orientation) (Jewet and Bain, 1995) mereka terhadap program yang menjadi tanggung jawabnya selama ini, sedangkan masalah kurikulum dapat dikaji dalam kaitannya dengan kemampuan sebuah kurikulum sebagai sebuah dokumen dalam memberikan keleluasaan kepada guru untuk melakukan interpretasi dalam hal pelaksanaannya[4].
Jika kita berkaca pada perspektif sejarah, maka dapat dimaklumi bahwa kualitas penjas dan olahraga di Indonesia dapat mewujudkan dalam bentuknya yang sekarang. Menginterpretasi kan konteks sejarah perkembangan penjas dan olahraga nasional kita, dapat diduga bahwa telah terjadi perubahan paradigma penjas di masa lalu, yang terjadi pada tahun 60-an. Kala itu, para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan olahraga sebagai alat strategis dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa rendah diri kolektif sebagai bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad terjajah dan terbodohkan secara sistematis. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa olahraga dapat menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa berkiprahnya bangsa Indonesia dalam berbagai event olahraga regional dan internasional.
Dengan kepercayaan tersebut, tidak pelak, penjas di sekolah-sekolah pun diubah paradigmanya, bukan lagi sebagai alat pendidikan, melainkan dipertajam menjadi alat untuk membantu gerakan olahraga sebagai penegak postur bangsa, agar lebih banyak lagi bibit-bibit atlet yang bisa dipersiapkan.
Pada tahap berikutnya, kurikulum kita pun masih belum berhasil memberi arah pada guru tentang kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional apa yang harus dikuasai guru. Terasa sekali, bahwa guru penjas, terutama di tingkat sekolah dasar, umumnya tidak menguasai berbagai kompetensi seperti metode mengajar, gaya mengajar, keterampilan meningkatkan kualitas PBM, serta tak kalah pentingnya dalam hal evaluasi. Di samping itu, sepertinya para guru pun tidak mengetahui secara pasti wilayah tugas dari mata pelajaran pendidikan jasmani dalam jenjang sekolah di mana ia bertugas. Mereka umumnya tidak mampu merumuskan, ke arah manakah program penjas yang mereka berikan pada anak akan mereka tujukan.
Ancaman mal-praktek program pendidikan jasmani di sekolah nampaknya semakin potensial dalam masa-masa pengimplementasian kurikulum Penjas 2004, yang konon juga disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mayoritas guru Penjas hingga kini masih belum mengetahui secara komprehensif tentang pengertian dan implementasi KBK dalam prakteknya. Mereka pun dapat dipastikan belum mengetahui secara jelas makna wilayah pembelajaran (Key Learning Area/KLA) dalam kurikulum 2004, yang dikelompokan menjadi enam (6) kelompok aktivitas, yaitu Aktivitas Permainan dan Olahraga, Aktivitas Pengembangan, Aktivitas Uji Diri, Aktivitas Ritmik, Aktivitas Akuatik, dan Aktivitas Luar Kelas.
Demikian juga kasusnya dengan Kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal sebagai Standard Isi. Di samping hanya memasukkan materi kesehatan ke dalam ruang lingkupnya, standar isi inipun tak ubahnya sebagai kurikulum imitasi dari KBK. Tidak ada pembaharuan apapun didalamnya, di samping lebih memperlebar kemungkinan kebingungan di antara guru-guru.

B.     Pengembangan Sistem Kurikulum Pendidikan Jasmani

Beberapa system pengembangan yang muncul dalam kurikulum Pendidikan Jasmani dapat kita telusuri berdasarkan beberapa sudut pandang sebagai berikut:

  1. Pengembangan Sistem Program
Pengembangan sistem program kurikulum dapat kita amati antara lain dari dua sisi, yaitu materi kurikulum dan distribusi alokasi waktunya. Materi kurikulum di sekolah pada dasarnya merupakan berbagai gerak dasar, yang antara lain dapat diklasifikasikan ke dalam cabang olahraga atletik, permainan, senam, beladiri, dan olahraga tradisional. Kenyataan ini sering menggiring para guru:
a.       Memaksakan diri mengajar olahraga yang untuk beberapa siswa mungkin belum saatnya karena persyaratan fisik dan koordinasinya belum memadai sehingga PBM kurang DAP.
b.       Berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari Pendidikan Jasmani di Sekolah.
c.       Kurang memperhatikan tujuan yang bersifat afeksi seperti kesenangan dan keceriaan.
d.       Kurang menyadari bahwa olahraga merupakan media untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya.
e.       Kurang memperhatikan aspek gerak dasar siswa yang bermanfaat bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas sehari-hari untuk mengisi waktu luang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik di sekolah maupun di masyarakat dan pembentukan gaya hidup yang sehat.
Apabila dilihat dari distribusi alokasi waktunya yang hanya satu kali dalam satu minggu dengan lama 2x45 menit kemungkinan besar tujuan yang berhubungan dengan pengembangan kesegaran jasmani tidak bisa tercapai. Program aktivitas untuk pengembangan kebugaran jasmani menuntut frekuensi 3 kali dalam seminggu. Sementara itu perkembangan kesegaran jasmani siswa seringkali merupakan tujuan yang paling diharapkan tercapai dalam pendidikan jasmani.   Untuk itu program kesegaran jasmani yang realistik untuk situasi seperti ini perlu dipertimbangkan. 
  1. Pengembangan Sistem Proses Pembelajaran
Beberapa Pengembangan Sistem yang berhubungan dengan proses belajar mengajar dan perlu mendapat perhatian para pelaksana di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
a.          Pengembangan dan variasi aktivitas belajar yang diberikan cenderung miskin dalam hal pengembangan tujuan secara holistic dan cenderung didasarkan terutama pada minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang gurunya. Dengan kata lain, aktivitas belajar cenderung kurang didasarkan pada karakteristik anak didiknya, misal, terdiri dari sejumlah permainan olahraga untuk orang dewasa.
b.          Aktivitas Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa cenderung terbatas. Siswa berpartisipasi pada permainan dan aktivitas yang jumlahnya relatif terbatas. Demikian juga kesempatan dan waktu aktif belajar untuk mengembangkan konsep dasar dan keterampilan gerakpun terbatas. Hasil penelitian Lutan dkk. (1992) mengungkapkan bahwa aktif belajar siswa SMA berkisar 1/3 dari seluruh alokasi Penjas[5].
c.          Siswa diharuskan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas penjas, namun aktivitas tersebut kurang membantu siswa memahami dampaknya bagi peningkatan kebugaran jasmani dan gaya hidup sehatnya di masa yang akan datang.
d.          Peranan unik dari Pendidikan Jasmani, yaitu belajar gerak dan belajar sambil bergerak, cenderung kurang dipahami oleh para pengajar dan kurang tercermin dalam pembelajaran.
e.          Siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengintegrasikan aktivitas Pendidikan Jasmani dengan pengalaman-pengalaman pendidikan pada bidang bidang lainnya.
f.           Guru kurang mengembangkan aspek afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang dapat mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa terhadap Pendidikan Jasmani.
g.          Guru cenderung masih kurang memperhatikan kesempatan pemberian bantuan kepada siswa agar mengerti emosi-emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas Pendidikan Jasmani.
h.          Siswa disuruh untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang terlalu mudah atau terlalu sukar yang dapat menyebabkan mereka bosan, frustrasi, atau melakukannya dengan salah.
i.            Jumlah siswa dalam pelajaran penjas lebih dari jumlah siswa dalam kelas yang sebenarnya, misal, mengajar empat kelas sekaligus.
j.            Siswa disuruh mengikuti pelajaran lain karena alasan-alasan lain atau sebagai hukuman atas perbuatannya dalam pelajaran Pendidikan Jasmani.
k.          Proporsi jumlah waktu aktif belajar sangat terbatas sebab siswa harus menunggu giliran, memilih team, terbatasnya peralatan, atau karena permainan gugur yang pada umumnya siswa yang lamban yang gugur.

  1. Pengembangan Sistem Penilaian
Evaluasi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan (integral) dari suatu proses belajar mengajar. Evaluasi berfungsi sebagai salah satu cara untuk memantau perkembangan belajar dan mengetahui seberapa jauh tujuan pengajaran dapat dicapai oleh siswa. Beberapa isu yang seringkali muncul daam pelaksanaan evaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
a.          Untuk mencapai tujuan penjas dan olahraga, maka disusun kurikulum sebagai wahana untuk mengantarkan perubahan menuju tujuan yang diharapkan. Pengalaman belajar itu disusun dan dipilih, untuk kemudian diputuskan oleh guru pendidikan jasmani berdasarkan nilai rujukan. Ada lima nilai rujukan yaitu: (1) penguasaan bidang studi (disciplinary mastery), (2) aktualisasi diri (self actualization), (3) rekonstruksi sosial (social reconstruction), (4) proses belajar (learning process), dan (5) integrasi lingkungan (ecological integration) (Jewet & Bain, 1985; dalam Jewet, 1994).
b.          Pelaksanaan penilaian belum begitu nampak terintegrasi dalam sebuah proses belajar mengajar. Pengecekan terhadap pemahaman siswa dan pemberian umpan balik yang memadai dalam rangka meningkatkan penguasaan materi oleh siswa sebagai salah satu bentuk evaluasi, nampaknya belum merupakan bagian yang menyatu dalam sebuah proses belajar mengajar. Untuk itu seringkali guru memberikan evaluasi harian yang sifatnya formalitas saja, asal menyampaikan tanpa dijadikan umpan balik untuk perbaikan proses berikutnya.
c.          Materi evaluasi terkadang kurang kurang relevan dengan materi yang diberikan pada proses belajar mengajar. Kecenderungan untuk mengambil materi evaluasi dari bang-bang soal dari luar sekolah atau dari soal sebelumnnya tanpa terlebih dahulu direvisi atau disesuaikan dengan materi belajar yang sudah diberikan, memang merupakan cara yang cepat.
d.          Situasi pelaksanaan evaluasi. Dalam situasi ujian tes tulis di kelas, hasil tes mungkin hanya diketahui oleh yang dites dan gurunya. Sementara itu, dalam tes penampilan di lapangan, hasil tes diketahui oleh semua orang. Semua siswa tahu siapa yang larinya paling lambat, siapa yang skor shootingnya paling rendah, dsb.
e.          Alokasi waktu pelajaran Penjas di sekolah amat terbatas untuk mengadakan pengetesan. Alokasi waktu pelajaran Penjas rata-rata satu kali perminggu, selama 2x45 menit dalam setiap semester (kurang lebih enam bulan) dengan pertemuan sebanyak 12 kali. Pengetesan sering menggunakan waktu yang cukup lama. Untuk melakukan satu butir tes kesegaran jasmani saja, misal tes lari 2,4 km (tes aerobik) diperlukan satu pertemuan bahkan kadang lebih.
f.           Masalah lain adalah evaluasi seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh ahli statistik, sebab statistik diperlukan untuk pengolahan data. Bila demikian guru harus bekerja ekstra keras, menyisihkan waktu dan mengeluarkan tenaga yang lebih banyak, dan  konsentrasi penuh pada evaluasi.
g.          Dan yang paling penting sekarang ini sesuai dengan kondisi masyarakat di seluruh aspek yaitu menurun nilai moral dalam hal ini nilai kejujuran baik dari guru sendiri maupun dari kalam kalangan peserta didik. Oleh karena itu penilaian ranah afektif juga perlu dinilai dalam hal ini pengamalan nilai-nilai sportifitas olahraga (ksatria dan kejujuran)

  1. Pengembangan Sistem Sarana dan Prasarana Pembelajaran Penjasor
Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran penjas merupakan salah satu isu yang cukup merata dan sangat terasa oleh para pelaksana penjas di lapangan. Pada umumnya sekolah-sekolah di Indonesia pada setiap jenjang pendidikannya selalu dihadapkan dengan permasalahan kekurangan sarana dan prasarana ini. Tidak sedikit sekolah di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan tidak memiliki tempat atau lahan untuk melakukan aktivitas jasmani, khususnya yang berkaitan dengan olahraga misalnya lapangan. Walaupun ada, jumlahnya tidak proporsional dengan jumlah siswa, seringkali ditambah dengan kualitasnya yang kurang memenuhi tuntutan pembelajaran.
Idealnya sarana dan prasarana ini harus lengkap, tidak hanya yang bersifat standard dengan kualitas yang standar pula, tetapi juga meliputi sarana dan prasarana yang sifatnya modifikasi dari berbagai ukuran dan berat ringannya. Modifikasi sarana dan presrana penjas sangat penting dilakukan oleh guru penjas untuk melayani berbagai kebutuhan tingkat perkembangan belajar anak didik di sekolah bersangkutan yang terkadang sangat beragam karakteristik kemampuannya.
  1. Isu Keberhasilan Kurikulum Penjas
Keberhasilan kurikulum Pendidikan Jasmani pada setiap jenjang pendidikan sampai saat ini masih dirasakan samar. Ukuran yang digunakan oleh setiap orang dalam menafsirkan keberhasilan program masih bersifat sama rata dan cenderung bersifat lokal belum menyeluruh sebagaimana tercantum dalam tujuannya. Namun demikian salah satu indikator yang mungkin dapat kita telusuri adalah karakteristik para lulusannya.
Untuk itu kita dapat bercermin pada karakteristik lulusan Pendidikan Jasmani yang dijadikan patokan di beberapa negara maju, misalnya seperti yang dikemukakan oleh NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) yang intinya adalah sebagai berikut:
a.          Memiliki keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik.
b.          Bugar secara fisik.
c.          Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani.
d.          Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatandalam aktivitas jasmani.
e.          Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat.[6]

C.     Menengok Kurikulum Pendidikan Jasmani Nasional


Pada tingkatan kurikulum, kelemahan program pendidikan jasmani masih berkutat di seputar struktur kurikulum nasional yang masih diwarnai oleh kesalahan orientasi dalam berbagai aspeknya. Pada tingkat ini, masalah yang dapat diidentifikasi adalah masih sangat sentralistisnya tujuan kurikuler dan tujuan instruksional (Kurikulum 1994), dan terlalu mendetil serta tendensiusnya standard kompetensi serta kompetensi dasar yang ditetapkan (Kurikulum 2004-2006), sehingga oleh beberapa pihak dianggap sangat membelenggu guru. Saking tendensiusnya, bahkan perumus kurikulumnya sendiripun nampaknya menjadi bingung sendiri manakala harus memberi perbedaan di antara materi untuk kelas dan jenjang yang berbeda.
Lebih lanjut, kelemahan pun masih terasa dalam hal orientasi kurikulum yang sangat menekankan pencapaian atau penguasaan keterampilan-keterampilan formal dari berbagai cabang olahraga (oleh beberapa ahli disebut serba-perilaku). Key Learning Areas dalam Penjas hanya memasukkan wilayah-wilayah keterampilan gerak didasarkan pada pengelompokkan kecabangan plus  aktivitas ritmik dan aktivitas luar berandai-andai tentang peranan apa yang harus dimainkan. Penjas sebagai mata pelajaran, dengan membuat sebuah skenario tentang bentuk masyarakat dunia dan Indonesia di masa mendatang. Skenario tersebut diperlukan untuk mencoba-coba merumuskan Kurikulum Penjas secara umum untuk memecahkan persoalan yang akan dihadapi di masa depan.

D.     Eksistensi Pendidikan Jasmani dalam Struktur Kurikulum


Disisi lain krisis pendidikan jasmani yang terjadi hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari pemahaman kita terhadap eksistensi pendidikan jasmani sebagai salah satu komponen penting dalam kurikulum. Cukup banyak tulisan atau pendapat dari pakar termasuk para pengambil kebijakan yang menyatakan bahwa pendidikan jasmani itu penting, namun pada tataran praktis ternyata "jauh panggang daripada api". Apa yang terjadi di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang dikonsepsikan. Alokasi waktu yang terbatas, kualifikasi tenaga pengajar yang tidak sesuai, dan minimnya anggaran vang dialokasikan. Selain itu. berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan infrastruktur di sebagian besar sekolah. Kondisi yang demikian sudah barang tentu sangat tidak menguntungkan bagi pengembangan Pendidikan jasmani itu sendiri.
Misi pokok pendidikan jasmani seringkali belum dapat dipahami oleh banyak orang, sekalipun itu pendidik. Salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa pendidikan jasmani sering dianggap sebagai bidang studi pelengkap dan dalam posisi yang kurang menguntungkan. Pertama, pendidikan jasmani adalah program yang relatif lebih mahal untuk dilaksanakan karena memerlukan banyak perlengkapan. Kedua, banyak orang menilai bahwa pendidikan jasmani kurang penting dibanding pelajaran lain seperti matematika, bahasa, dan sebagainya.
Kita semua menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik, mental emosional, intelektual, social maupun spiritual akan berlangsung normal apabila diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan aspek-aspek tersebut tumbuh dan berkembang secara wajar. Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan jasmani adalah wahana untuk menumbuh-kembangkan anak secara manusiawi yang wajar dan efektif. Oleh karena itu, sudah selayaknya bila pendidikan jasmani diberikan perhatian yang proporsional dan dilaksanakan secara efisien, efektif serta sesuai dengan kondisi fisik dan psikis anak.

E.      Kurikulum Pendidikan Jasmani Yang Seimbang dan Efektif


Pengertian tentang kurikulum yang seimbang tidak berarti alokasi waktu yang disediakan dibagi sama untuk semua bidang studi, tetapi lebih mengacu pada proporsi yang rasional untuk masing-masing bidang studi tersebut serta mengandung muatan kemampuan yang relatif berimbang. Sebagai ilustrasi, pada kurikulum SLTP 1994, terdapat 12 bidang studi, salah satu diantaranya adalah Pendidikan jasmani dan Kesehatan. Total waktu untuk dua belas bidang studi tersebut adalah 44 jam per minggu, dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan hanya 2 jam per minggu (4,5%).
Sudah barang tentu ini bukanlah suatu perbandingan yang proporsional bagi bidang studi Pendidikan jasmani, apalagi waktu 2 jam tersebut dibagi antara Pendidikan jasmani sendiri dan Kesehatan. Alokasi waktu nampaknya masih terkonsentrasi pada kelompok bidang studi tertentu. Kurikulum-pendidikan jasmani yang seimbang mencirikan bahwa muatan pendidikan jasmani tidak ditekankan hanya pada penguasaan keterampilan motorik tetapi juga pengembangan nilai-nilai kepribadian peserta didik. Kurikulum yang seimbang bersifat integratif dan eklektif tidak menekankan pada satu model tertentu seperti keterampilan kecabangan olahraga, kebugaran jasmani, kegiatan alam terbuka. Menurut Agus Mahendra dkk (2006) menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan yang seimbang mendorong terjadinya proses pembelajaran yang memberikan peluang bagi peserta didik untuk belajar untuk tahu (learning to know) belajar untuk bekerja (learning to do) belajar untuk mandiri (learning to be) belajar untuk hidup bersama (learning to live together) Secara ringkas, kurikulum pendidikan jasmani yang seimbang mampu menumbuh kembangkan pribadi anak seutuhnya (allround development) yang mencakup ranah intelektual, fisikal emosional, spiritual dan social.
            Rencana kurikulum pendidikan jasmani sebagaimana layatnya kurikulum bidang studi lain biasanya didasarkan pada hasil akhir yang hendak dicapai (desired outcomes) oleh peserta didik. Jadi sebelum merancang suatu kurikulum, langka pertama adalah mengidentifikasi hasil keluaran (exit outcomes) yang diharapkan dari peserta didik setelah mengikuti program. Hasil program ini merupakan tingkat pencapaian prestasi peserta didik sesuai dengan standar kompetensi yang dikehendaki. Setelah itu barulah disusun hasil antara (intermediate outcomes) yang harus dicapai peserta didik setiap unit pelajaran.
Standar kompetensi untuk pendidikan jasmani pada tingkat nasionai perlu dikembangkan dan disepakati secara nasionai sebelum kita merancang kurikulum. Standar nasionai ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat prestasi (achievement) yang diharapkan setelah peserta didik selesai mengikuti program pendidikan jasmani. Standar tersebut di atas membantu menentukan hasil keluaran (exit outcomes) dan kurikulum yang sesuai dengan taraf perkembangan anak (developmentally appropriate curricula).[7]
Disamping standar nasional beberapa prinsip dasar berikut perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum pendidikan jasmani adalah sebagai berikut:
1.       Perhatian selalu dipusatkan pada hasil keluaran setiap tingkat kelas, ini merupakan tujuan (goals) yang harus dicapai dalam pembelajaran termasuk penilaian.
2.       Rencanakan berbagai peluang bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi termasuk pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan sebelum maju ke tingkat lebih tinggi.
3.       Rencanakan bagaimana setiap peserta didik akan memperoleh dukungan sesuai kebutuhan nya sehingga termotivasi untuk mencapai tujuan program.
4.       Buat rancanean secara mundur dan hasil keluaran (exit outcomes) - hasil program (program outcomes) - hasil mata pelajaran (course outcomes) - hasil unit (unit outcomes) sampai dengan hasil pembelajaran (lesson outcomes). Dan perspektif internal kurikulum pendidikan jasmani sendiri, ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian.
Dari perspektif internal kurikulum pendidikan jasmani sendiri, ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian, antara lain:
1)       Tujuan diorientasikan pada pengembangan yang bersifat fisik tanpa pengabaian pada tujuan-tujuan non-fisik. Tidak bisa dipungkin bahwa pendidikan jasmani objek formalnya adalah gerak fisik insani, tapi tidak berarti dengan objek formal yang demikian menyebabkan hilangnya substansi lain seperti aspek kognitif, afektif, dan sosial. Persoalan tersebut pada keilmuannya membawa implikasi pada model evaluasi yang dikembangkan. Dalam kaitan ini pemahaman terhadap filosofi pendidikan jasmani perlu direaktualisasi.
2)       Pola pengembangan materi tidak terfokus pada aktivitas yang bersifat kecabangan oiahraga   (sport base). Pada tingkat pendidikan dasar, seyogyanya materi tidak dikemas dalam nuansa cabang olahraga, tetapi lebih berdasarkan pada unit aktivitas tertentu. Hal ini menjadi semakin penting sehubungan dengan upaya memberikan pengalaman gerak sebanyak-banyaknya kepada anak.
3)       Guru perlu dibebankan keleluasaan untuk mengembangkan pola pengajarannya. Hal ini mengingat kondisi sekolah dalam kenyataannya tidaklah sama, baik dalam fasilitas, sarana prasarana maupun infrastruktur lainnya.
4)       Alokasi waktu pendidikan jasmani atau bentuk kegiatan olahraga di sekolah perlu ditingkatkan. Sungguhpun optimalisasi tetap harus dilakukan, apabila penambahan jam pelajaran tidak memungkinkan beberapa alternatif seperti pemanfaatan waktu luang pagi hari sebelum pelajaran, siang dan sore hari dengan kegiatan ekstra, aktivitas fisik (senam sebelum masuk di dalam kelas) atau saat pergantian pelajaran.
5)       Faktor penting yang hendaknya juga menjadi fokus perhatian adalah model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh guru pendidikan jasmani di sekolah. Pada tataran implementasi, model pembelajaran merupakan wujud kongkrit pelaksanaan kurikulum di lapangan.
Terkait dengan masalah ini, maka perlu memberikan penekanan kembali tentang pendekatan modifikasi olahraga. Sebagai pendekatan pembelajaran, modiflkasi olahraga dimaksudkan untuk mengganti model pengajaran tradisional yang selama ini diterapkan. Pendekatan ini telah berhasil diterapkan dibeberapa Negara seperti Amerika dan Australia (Siedentop,1994; Tinning, Kirk & Evans,1993; Australian Sports Commision, 1994). Pengajaran model ini sama dengan pengajaran retlektif yang pada hakikatnya menolak pendekatan secara linier, rutin dan monoton. Modiflkasi dapat dilakukan pada alat, ukuran Iapangan, aturan permainan dan sebagainya. Seorang guru dikatakan berhasil apabila ia dapat mencapai kepuasan profesional, dan ia secara kreatif mampu menggunakan berbagai keterampilan mengajar serta berinteraksi secara efektif dengan lingkungan pembelajaran. Guru harus mampu memanfaatkan lingkungan yang ada secara optimal sehingga dapat menumbuhkan situasi dan kondisi dimana anak terangsang untuk senang belajar.[8]

F.      Menetapkan Skenario Untuk Kurikulum Penjas Masa Depan


Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP adalah pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2) (BSNP 2006:4). Dalam Undang-Undang tentang Sisdiknas dikemukakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Selain itu juga dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.[9]
Kurikulum dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Untuk itu maka dalam suatu kurun waktu tertentu kurikulum harus dikaji kembali disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta disesuaikan dengan tuntutan jaman. Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan.
Perubahan kurikulum merupakan suatu keharusan. Persoalan-persoalan yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara dan paradigma lama. Kurikulum perlu membuka peluang berupa cara-cara dan wawasan baru. Untuk mewujudkan hasil pendidikan bermutu tersebut diperlukan kompetensi dasar tamatan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks lokal, nasional dan global. Peningkatan mutu pendidikan secara nasional memerlukan standar mutu pendidikan nasional yang memuat kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa di seluruh Indonesia.
Oleh karenanya Pusat Kurikulum perlu mengembangkan sebuah "Kurikulum Masa Depan" untuk meningkatkan mutu kehidupan, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman dengan memperhatikan: keanekaragaman kemampuan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan kekinian dan kemasadepanan; oleh karena itu, kurikulum harus relevan, fleksibel, dan dapat dipertanggungjawabkan ini menuntut kejelasan orientasi kurikulum, yakni lebih pada hasil pelajaran daripada prosedur pembelajaran. Dengan orientasi ini ditetapkan kompetensi dasar siswa pada setiap jenjang pendidikan, yang dapat dicapai melalui berbagai cara sesuai dengan keadaan sekolah/daerah. (Brosur: Kurikulum Masa Depan, Pusat Kurikulum, Mei 2000). "Kurikulum Masa Depan" ini berbasis pada Kemampuan Dasar, untuk semua mata pelajaran per satuan pendidikan. Dengan adanya kurikulum tersebut diharapkan sejumlah kemampuan dasar apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah lulus sekolah menurut satuan pendidikan.[10]
Sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan/menentukan sendiri bentuk kegiatan nya disesuaikan dengan kemampuan dasar yang terdapat pada masing-masing kelas/jenjang pendidikan.
Kemampuan dasar adalah kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikati proses belajar mengajar pada kelas/jenjang pendidikan tertentu untuk meningkatkan keterampilan dan kesehatan jasmani, dan mengerti cara menjaga kesehatan dan kamanan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan yang menjadi /criteria dalam memilih kemampuan dasar adalah bahwa kemampuan tersebut harus mempvnyai nilai pendidikan; sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial dan emosional; berfungsi mengembangkan potensi fungsi-fungsi organik. sistem otot dan syaraf; cipta, rasa dan karsa; mengembangkan aktifitas dan kreatifiltas siswa.
Dalam pembuatan Kurikulum Masa Depan perlu diingat pula bahwa kurikulum harus: "Komunikatif mudah dipahami dan dilakukan; menumbuhkan sikap disiplin, jujur dan tanggung jawab; dan materinya bersifat rekreatif; meningkatkan kesehatan dan kesegaran jasmani; membiasakan pola hidup sehat.
Materi pelajaran Penjas di SMP harus sinambung dengan materi di SD, dan disiapkan untuk sinambung dengan SMU. Oleh karena itu, seperti juga disepakati oleh para praktisi di lapangan maupun konseptor, materi pelajaran pendidikan jasmani di SD ditekankan pada pembentukan gerak dasar yang baik dan benar, tetapi dilakukan intensif, sehingga berpengaruh pada pembinaan kesegaran jasmani siswa. Gerak dasar tersebut adalah jalan, lari, lompat (lempar-tangkap dan pukul (memukul). Sedangkan materi pelajaran di SLTP merupakan kombinasi gerak dasar yang sudah baik dan benar berbentuk permainan. Tetapi permainan yang disajikan bentuknya adalah "lead game", yakni bentuk permainan pendahuluan, misalnya: permainan bola vol, mini, sedangkan materi di SMU bentuk permainan modified game.
Dengan gerak dasar yang sudah dikuasai dengan baik di SD, maka bentuk permainan di SLTP dan SMU akan menarik perhatian siswa karena permainan selalu mendatangkan kegembiraan dan sasaran penjas di SLTP tetap kebugaran jasmani, seperti di SD dan di SMU.
Dengan alokasi waktu yang hanya 2 jam perminggu, guru harus dapat memanfaatkan waktu dengan seefektif mungkin. Dengan waktu yang ada, guru harus mampu memberikan materi/praktek yang dapat diserap siswa untuk menghasilkan kemampuan dasar tertentu. Guru penjas dituntut untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk gerak yang secara teknis harus dilakukan dengan baik dan benar, serta diharapkan dapat menumbuhkan minat pada siswanya untuk selalu mengikuti pelajaran dengan baik dan menyakinkan bahwa pelajaran penjaskes sangat penting untuk dipelajan. Guru dituntut untuk selalu kreatif dalam menciptakan suasana belajar yang menarik dan kreatif dalam pengadaan alat belajar, baik sarana maupun prasarana.
Dengan melihat alokasi waktu yang hanya 2 jam per minggu, pendidikan jasmani saja sudah cukup banyak apalagi ditambah dengan materi kesehatan. Terlebih lagi ditambah dengan keinginan beberapa kalangan yang ingin memasukkan materi-materi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, misal: NAZA, reproduksi, AIDS, dsb. Maksud dari mereka adalah baik, yaitu sejak dim diperkenalkan kepada siswa agar siswa mengetahui apa keuntungan dan kerugian apabila siswa telah menerima materi tersebut. Tetapi perlu diingat, tidak semua materi dapat dijelslkan (dimasukkan) dalam kurikulum pendidikan jasmani, apalagi dipaksakan agar dapat menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Untuk mengurangi beban materi kesehatan pada mata pelajaran pendidikan jasmani ini bisa diintergrasikan dengan mata pelajaran lain, dan dapat juga diajarkan melalui kegiatan ekstra kurikuler, misalnya: PMR, UKS, dan lam sebagainya atau dapat dengan cara mengembalikan kembali alokasi waktunya menjadi 3 jam pelajaran perminggu. Pengintegrasian materi kesehatan tersebut tentu saja memerlukan "bargaining” dengan mata pelajaran yang lain (relevan), agar tidak terjadi overlapping, tarik menarik atau mungkin menolak materi tersebut untuk dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang bersangkutan.
Penyusunan “Kurikulum Masa Depan" seharusnya diikuti dengan serangkaian kegiatan lainnya seperti penyusunan buku-buku sumber, penyediaan fasilitas dan peralatan serta pendidikan pelatihan untuk pengembangan kemampuan guru. Kegiatan-kegiatan ini perlu dirancang dan didukung untuk menjamin agar kurikulum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan target yang diinginkan.
Disisi lain kurikulum Penjas masa depan dalam mengembangkan kurikulumnya tidak hanya mengembangkan ranah kognitif dan psikomotor saja tetapi bagaimana memaksimalkan ranah afektif di kalangan peserta didik tidak hanya di sekolah-sekolah tetapi juga di kalangan pergurungan tinggi yang sekarang ini marak terjadinya tawuran di kalangan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi dekadensi moral di kalangan peserta didik (siswa dan mahasiswa). Oleh karena itu kurikulum penjas yang berorientasi masa depan yang harus menyeimbangkan ranah psikomotor dan kognitif dengan memaksimal ranah afektif dikalangan peserta didik (siswa/mahasiswa) dengan cara penanaman nilai-nilai sportifitas olahraga dan fair play (kejujuran, adil, ksatria, tunduk pada aturan, disiplin, hormat terhadap lawan, tegas dan berwibawa, rendah hati serta semangat kompetitif).
Nilai-nilai tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya dikalangan peserta didik (siswa dan mahasiswa) sebagai penerus masa depan bangsa. Jika nilai-nilai penjas dan olahraga (sportifitas dan fair play) tersebut diaplikasikan oleh seluruh elemen pemimpin bangsa ini, maka niscaya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi penyakit moral bangsa ini akan semakin berkurang.

III.       KESIMPULAN

Kurikulum Pendidikan Jasmani yang seimbang dan efektif dengan orientasi masa depan selayaknya sudah mulai dirancang dengan memperhitungkan sebuah hasil ekstrapolasi tentang kondisi dan kebutuhan masyarakat di masa depan, agar mampu memainkan peranan yang strategis dalam upaya merekonstruksi masyarakat Indonesia di masa depan. Kurikulum tersebut perlu memperhitungkan berbagai nilai acuan yang berlaku, serta tidak didominasi oleh nilai acuan yang tunggal. Model kurikulum yang berkembang pun perlu dimasukkan ke dalam substansi kurikulum, sehingga memicu guru untuk memilih dan menetapkan salah satu atau beberapa model yang tepat bagi kondisi lingkungan sekolah dan budaya serta keunikan masyarakat setempat. Kurikulum itupun hendaknya terbebas dari pengaruh paradigma lama yang mengungkung keberanian serta kesiapan untuk melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan secara umum.





 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA


Brosur: Kurikulum Masa Depan, Pusat Kurikulum, Mei 2000)
Jewet, A.E. (1994) Curriculum Theory and Research in Sport Pedagogy, dalam Sport Science Review. Sport Pedagogy. Vol. 3 (1), h. 11-18.
Jewett; Bain; dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education, Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.
Lutan, Rusli. (2005). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Sekolah: Penguasaan Kompetensi Dalam Konteks Budaya Gerak. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Standar Kompetensi Guru Penjas. Cipayung. Direktorat Tenaga Kependidikan. Diknas. 2005.
Macdonald, D. (2000). Curriculum change and the postmodern world: The school curriculum-reform project an anachronism?

Mahendra, Agus, dkk. (2006). Implementasi Movement-Problem-Based Learning Sebagai Pengembangan Paradigma Reflective Teaching Dalam Pendidikan Jasmani: Sebuah Community-Based Action Research Di Sekolah Menengah Di Kota Bandung. Laporan Penelitian. UPI. Bandung.
Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas tahun 2003. Survey Nasional Kebugaran Jasmani Siswa Sekolah Menengah. Depdiknas. Jakarta.

IL. Siedentop, D., (1991), Developing Teaching Skills in Physical Education, Mayfield Publishing Company.
__________, ICHPER.SD International Standard of Physical Education and Sport, on Global Mission of The Physical Education and Sport, (2004).
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003


[1] Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas tahun 2003. Survey Nasional Kebugaran Jasmani Siswa Sekolah Menengah. Depdiknas. Jakarta.
[2] Jewett; Bain; dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education, Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.
[3]   Macdonald, D. (2000). Curriculum change and the postmodern world: The school curriculum-reform project an anachronism?


[4] Jewett; Bain; dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education, Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.
[5] Lutan, Rusli. (2005). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Sekolah: Penguasaan Kompetensi Dalam Konteks Budaya Gerak. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Standar Kompetensi Guru Penjas. Cipayung. Direktorat Tenaga Kependidikan. Diknas. 2005.

[6] __________, ICHPER.SD International Standard of Physical Education and Sport, on Global Mission of The Physical Education and Sport, (2004).

[7] Mahendra, Agus, dkk. (2006). Implementasi Movement-Problem-Based Learning Sebagai Pengembangan Paradigma Reflective Teaching Dalam Pendidikan Jasmani: Sebuah Community-Based Action Research Di Sekolah Menengah Di Kota Bandung. Laporan Penelitian. UPI. Bandung
[8] IL. Siedentop, D., (1991), Developing Teaching Skills in Physical Education, Mayfield Publishing Company.
[9] Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[10] Brosur: Kurikulum Masa Depan, Pusat Kurikulum, Mei 2000)