MENGGAGAS KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI
YANG SEIMBANG DAN EFEKTIF DENGAN ORIENTASI MASA DEPAN
Oleh: Andi Akbar
Jurusan
Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK UNM
I.
PENDAHULUAN
Rendahnya mutu
kebugaran jasmani siswa sekolah dari seluruh jenjang pendidikan di Indonesia dapat dijadikan satu petunjuk umum
bahwa mutu program pendidikan jasmani di Indonesia masih sangatlah rendah. Dari
survey yang dilakukan oleh Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas terdahulu,
diperoleh informasi bahwa hasil pembelajaran Penjas di sekolah secara umum
hanya mampu memberikan efek kebugaran jasmani terhadap kurang lebih 15 persen dari keseluruhan populasi siswa. Sedangkan dalam
penelusuran sederhana lewat test Sport Search dalam aspek yang
berkaitan dengan kebugaran jasmani siswa SMU, siswa Indonesia rata-rata hanya
mencapai kategori "Rendah" (Ditjora, 2002)[1].
Rendahnya
mutu hasil pembelajaran pendidikan jasmani pun dapat disimpulkan dari keluhan
masyarakat olahraga yang mengindikasikan bahwa mutu bibit olahragawan usia
dini dari sekolah-sekolah kita sangat rendah. Keluhan ini dapat dikaitkan
dengan tiga hal. Pertama, para calon atlet kita rata-rata mengandung kelemahan
dalam hal kemampuan motoriknya, dari mulai kecepatan, kelincahan, koordinasi,
keseimbangan, dan kesadaran ruangnya; kedua, para calon atlet kita pun
sekaligus memiliki kekurangan dalam hal kemampuan fisik (kebugaran jasmani),
terutama dalam hal daya tahan umum, kekuatan, kelentukan, power, dan daya tahan
otot lokal. Ketiga, penanaman nilai-nilai sportifitas olahraga (kejujuran,
ksatria, kedisiplinan, dll) pada saat proses belajar mengajar tidak
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Belum lagi jika
ukuran kinerja atau efektivitas PBM Penjas tersebut dinilai dari aspek lain yang seharusnya terintegrasi dalam
Penjas. Ambil misal kualitas proses yang seharusnya dapat terlihat dari
Penjas yang baik, seperti bagaimana guru menerapkan model pengembangan disiplin, pengajaran yang bernuansa DAP, kesadaran
guru dalam mengembangkan bukan hanya aspek fisik dan motorik, tetapi aspek
kognitif dan afektif (mental sosial serta moral anak), yang dipercayai oleh
para ahli dapat mengembangkan nilai-nilai dan karakter positif pada diri
anak.
Disisi lain seringnya
terlihat di media massa terjadinya tawuran dikalangan peserta didik (siswa dan
mahasiswa), hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan
jasmani dan olahraga belum mampu memberikan peranan yang maksimal dalam hal
pengembangan ranah afektif dikalangan peserta didik yaitu penanaman nilai-nilai sportifitas olahraga dan fair play (kejujuran,
adil, ksatria, tunduk pada aturan, disiplin, hormat terhadap lawan, tegas dan
berwibawa, rendah hati serta semangat kompetitif). Nilai-nilai tersebut
sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh
lapisan masyarakat. Jika nilai-nilai penjas dan olahraga (sportifitas dan fair
play) tersebut diaplikasikan oleh seluruh elemen pemimpin bangsa ini, maka
niscaya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi penyakit moral bangsa
ini akan semakin berkurang.
Berdasarkan uraian
diatas maka yang perlu dilakukan adalah analisis apa yang perlu dilakukan dalam
rangka pengembangan sistem penjas dan olahraga?. Salah satu sistem dari sekian
banyak faktor untuk mencapai tujuan penjas dan olahraga adalah kurikulum.
Outpun dari kurikulum sekarang ini dimana salah satu indikatornya adalah
rendahnya mutu pendidikan jasmani yang ditandai dengan “menurunnya tingkat
kebugaran jasmani peserta didik di Indonesia yang didasari atas survey serta
menurunnya nilai-nilai moral (kejujuran) baik dari kalangan guru maupun peserta
didik. Hal ini menunjukkan bahwa Pendidikan Jasmani dan olahraga belum
memberikan hasil maksimal dalam peningkatan manusia Indonesia seutuhnya. Hal
ini mungkin disebabkan karena kurikulum yang dikembangkan tidak seimbang dan
efektif dengan orientasi masa depan?
Oleh karena itu maka
makna penting pendidikan jasmani dan olahraga serta manfaatnya bagi
pengembangan kepribadian manusia rasanya tidak dipersoalkan lagi. Justru yang
menjadi masalah adalah apakah pengembangan sistem penjas dan olahraga dalam hal
ini kurikulumnya sudah seimbang dan efektif dengan berorientasi masa depan? Apakah
pendidikan jasmani sebagai faktor penting pembentukan manusia seutuhnya telah
ditempatkan secara proporsional? Apakah pelaksanaan pendidikan jasmani di
sekolah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan jasmani?
Apakah dalam implementasinya telah didukung oleh sumberdaya yang memadai?
Apakah pembelajaran yang telah dilakukan mampu mengembangkan-individu secara
utuh? Mengapa mutu hasil pembelajaran penjas dan olahraga di Indonesia bisa
sedemikian rendah. Apakah karena faktor guru yang juga kualitasnya rendah,
ataukah disebabkan faktor lain seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai?
Ataukah semua kelemahan ini harus dialamatkan pada kurikulum yang tidak relevan,
serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pentingnya
pendidikan jasmani? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hakikatnya tidak dapat
diiepaskan dari pertanyaan dasar, yaitu: apakah kurikulum yang dikembangkan
telah seimbang dan efektif dengan
orientasi kedepan?
Tentu menjadi
pertanyaan, mengapa mutu hasil pembelajaran penjas dan olahraga di Indonesia
bisa sedemikian rendah. Apakah karena faktor guru yang juga kualitasnya rendah,
ataukah disebabkan faktor lain seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai?
Ataukah semua kelemahan ini harus dialamatkan pada kurikulum yang tidak
relevan, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam hal
pentingnya pendidikan jasmani?
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum dan Pemasalahannya
Kurikulum sering didefinisikan
secara berbeda, tergantung luas dan sempitnya sudut pandang yang digunakan para
pemakainya. Secara luas, oleh Jewet et al.,(1995) kurikulum diartikan sebagai
keseluruhan pengalaman siswa yang ditemui di lingkungan persekolahan, dari
mulai yang berlangsung formal di dalam kelas, hingga kegiatan ekstra di
lapangan olahraga[2].
Sedangkan secara khusus, kurikulum diartikan sebagai suatu rangkaian yang
terencana dari pengalaman-pengalaman pengajaran formal yang disajikan oleh guru di dalam kelas. Masih sejalan
dengan Jewet et al., Macdonald (2000) mendefinisikan kurikulum sebagai
suatu lingkungan budaya yang dipilih secara bertujuan. Artinya, kurikulum
adalah sebuah studi tentang "apa yang harus ada dalam dunia belajar dan
bagaimana caranya membuat dunia itu"[3].
Para ahli juga berbeda pendapat
dalam hal penggunaan istilah kurikulum ketika ia berhubungan dengan istilah
pengajaran (instruction). Kurikulum lebih sering digunakan sebagai
sebuah istilah umum yang luas, termasuk di dalamnya pengajaran. Jika perbedaan
di antara kedua istilah itu ditarik secara tegas, kurikulum diartikan sebagai
suatu rencana dari agensi kependidikan yang memfasilitasi terjadinya pembelajaran sedangkan pengajaran diartikan
sebagai suatu system penyampaian, atau kumpulan dari sejumlah transaksi
kependidikan, yang didalamnya memuat proses pengajaran-pembelajaran untuk
melaksanakan rencana tersebut.
Masalahnya, ketika secara
teoritis keduanya dapat didiskusikan secara terbuka, dalam praktik keduanya
bersifat interaktif dan tidak mudah dipisah-pisahkan. Artinya, amat mudah
menyusun kurikulum sebagai sebuah rencana yang tersusun sebagai sebuah dokumen,
tetapi manakala keseluruhan rencana itu diimplementasikan, maka kurikulum tadi
melunat menjadi segala perilaku guru dan siswa yang saling berkaitan satu sama
lain, sehingga bukan hanya dokumen kurikulum yang harus “baik”,
tetapi termasuk ditentukan oleh kompetensi guru dan lingkungan di mana
kurikulum tersebut diimplementasikan.
Pertanyaan
yang harus diajukan adalah, ketika mutu pembelajaran Penjas di Indonesia
disinyalir masih amat rendah, benarkah yang harus dipersalahkan dan serta-merta
segera diganti adalah kurikulum? Jika yang dimaksud dengan perubahan kurikulum
adalah juga perubahan dalam bagaimana guru menetapkan paradigma pembelajarannya
termasuk lingkungan di mana pembelajaran berlangsung, maka tentu saja Indonesia
perlu merumuskan kurikulum barunya sesegera mungkin, agar secara sistematis
program penjas di Indonesia dapat direvitalisasi secara utuh.
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidaklah mudah. Diperlukan penelusuran
cermat yang melibatkan berbagai alat telaah multidisipliner, baik yang
melibatkan tinjauan dari aspek filosofis, sosiologis, psikologis, budaya,
ekonomi serta politik. Namun dalam wilayah praktis, kita dapat mendekati
permasalahan ini dalam hubungannya dengan kemampuan guru dan kurikulum yang
diberlakukan dalam program Penjas dan olahraga di Indonesia. Kemampuan guru
harus ditelusuri dari segi nilai acuan (value orientation) (Jewet and
Bain, 1995) mereka terhadap program yang menjadi tanggung jawabnya selama ini,
sedangkan masalah kurikulum dapat dikaji dalam kaitannya dengan kemampuan
sebuah kurikulum sebagai sebuah dokumen dalam memberikan keleluasaan kepada
guru untuk melakukan interpretasi dalam hal pelaksanaannya[4].
Jika kita berkaca
pada perspektif sejarah, maka dapat dimaklumi bahwa kualitas penjas dan olahraga di Indonesia dapat
mewujudkan dalam bentuknya yang sekarang.
Menginterpretasi kan konteks sejarah perkembangan penjas dan olahraga
nasional kita, dapat diduga bahwa telah
terjadi perubahan paradigma penjas di masa lalu, yang terjadi pada tahun
60-an. Kala itu, para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan
olahraga sebagai alat strategis dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa
rendah diri kolektif sebagai bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad
terjajah dan terbodohkan secara sistematis. Keyakinan yang berkembang adalah
bahwa olahraga dapat menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki potensi dan
kemampuan yang sama dengan bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa
berkiprahnya bangsa Indonesia dalam berbagai event olahraga regional dan
internasional.
Dengan kepercayaan tersebut,
tidak pelak, penjas di sekolah-sekolah pun diubah paradigmanya, bukan lagi
sebagai alat pendidikan, melainkan dipertajam menjadi alat untuk membantu
gerakan olahraga sebagai penegak postur bangsa, agar lebih banyak lagi
bibit-bibit atlet yang bisa dipersiapkan.
Pada tahap berikutnya, kurikulum
kita pun masih belum berhasil memberi arah pada guru tentang kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional apa yang harus dikuasai guru. Terasa
sekali, bahwa guru penjas, terutama di tingkat sekolah dasar, umumnya tidak
menguasai berbagai kompetensi seperti metode mengajar, gaya mengajar, keterampilan
meningkatkan kualitas PBM, serta tak kalah pentingnya dalam hal evaluasi. Di
samping itu, sepertinya para guru pun tidak mengetahui secara pasti wilayah
tugas dari mata pelajaran pendidikan jasmani dalam jenjang sekolah di mana ia
bertugas. Mereka umumnya tidak mampu merumuskan, ke arah manakah program penjas
yang mereka berikan pada anak akan mereka tujukan.
Ancaman mal-praktek program
pendidikan jasmani di sekolah nampaknya semakin
potensial dalam masa-masa pengimplementasian kurikulum Penjas 2004, yang konon
juga disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mayoritas guru Penjas
hingga kini masih belum mengetahui secara komprehensif tentang pengertian dan
implementasi KBK dalam prakteknya. Mereka pun dapat dipastikan belum mengetahui
secara jelas makna wilayah pembelajaran (Key Learning Area/KLA) dalam
kurikulum 2004, yang dikelompokan menjadi enam (6) kelompok aktivitas, yaitu
Aktivitas Permainan dan Olahraga, Aktivitas Pengembangan, Aktivitas Uji Diri,
Aktivitas Ritmik, Aktivitas Akuatik, dan Aktivitas Luar Kelas.
Demikian
juga kasusnya dengan Kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal sebagai Standard
Isi. Di samping hanya memasukkan materi kesehatan ke dalam ruang lingkupnya, standar isi inipun tak ubahnya
sebagai kurikulum imitasi dari KBK. Tidak ada pembaharuan apapun didalamnya,
di samping lebih memperlebar kemungkinan kebingungan di antara guru-guru.
B.
Pengembangan Sistem Kurikulum Pendidikan Jasmani
Beberapa system pengembangan
yang muncul dalam kurikulum Pendidikan Jasmani dapat kita telusuri berdasarkan
beberapa sudut pandang sebagai berikut:
- Pengembangan Sistem Program
Pengembangan sistem program
kurikulum dapat kita amati antara lain dari dua sisi, yaitu materi kurikulum
dan distribusi alokasi waktunya. Materi kurikulum di sekolah pada dasarnya
merupakan berbagai gerak dasar, yang antara lain dapat diklasifikasikan ke
dalam cabang olahraga atletik, permainan, senam, beladiri, dan olahraga
tradisional. Kenyataan ini sering menggiring para guru:
a. Memaksakan diri mengajar olahraga yang untuk beberapa
siswa mungkin belum saatnya karena persyaratan fisik dan koordinasinya belum
memadai sehingga PBM kurang DAP.
b. Berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga
merupakan tujuan utama dari Pendidikan Jasmani di Sekolah.
c. Kurang memperhatikan tujuan yang bersifat afeksi
seperti kesenangan dan keceriaan.
d. Kurang menyadari bahwa olahraga merupakan media untuk
mencapai tujuan pendidikan pada umumnya.
e. Kurang memperhatikan aspek gerak dasar siswa yang
bermanfaat bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas sehari-hari untuk
mengisi waktu luang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik di
sekolah maupun di masyarakat dan pembentukan gaya hidup yang sehat.
Apabila dilihat dari
distribusi alokasi waktunya yang hanya satu kali dalam satu minggu dengan lama
2x45 menit kemungkinan besar tujuan yang berhubungan dengan pengembangan
kesegaran jasmani tidak bisa tercapai. Program aktivitas untuk pengembangan
kebugaran jasmani menuntut frekuensi 3 kali dalam seminggu. Sementara itu
perkembangan kesegaran jasmani siswa seringkali merupakan tujuan yang paling
diharapkan tercapai dalam pendidikan jasmani. Untuk itu
program kesegaran jasmani yang realistik untuk situasi seperti ini perlu
dipertimbangkan.
- Pengembangan Sistem Proses Pembelajaran
Beberapa Pengembangan Sistem yang
berhubungan dengan proses belajar mengajar dan perlu mendapat perhatian para
pelaksana di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Pengembangan
dan variasi aktivitas belajar yang diberikan cenderung miskin dalam hal
pengembangan tujuan secara holistic dan cenderung didasarkan terutama pada
minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang gurunya. Dengan kata lain,
aktivitas belajar cenderung kurang didasarkan pada karakteristik anak didiknya,
misal, terdiri dari sejumlah permainan olahraga untuk orang dewasa.
b.
Aktivitas
Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa cenderung terbatas. Siswa
berpartisipasi pada permainan dan aktivitas yang jumlahnya relatif terbatas.
Demikian juga kesempatan dan waktu aktif belajar untuk mengembangkan konsep
dasar dan keterampilan gerakpun terbatas. Hasil penelitian Lutan dkk. (1992)
mengungkapkan bahwa aktif belajar siswa SMA berkisar 1/3 dari seluruh alokasi
Penjas[5].
c.
Siswa
diharuskan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas penjas, namun aktivitas
tersebut kurang membantu siswa memahami dampaknya bagi peningkatan kebugaran
jasmani dan gaya hidup sehatnya di masa yang akan datang.
d.
Peranan
unik dari Pendidikan Jasmani, yaitu belajar gerak dan belajar sambil bergerak,
cenderung kurang dipahami oleh para pengajar dan kurang tercermin dalam
pembelajaran.
e.
Siswa
kurang mendapat kesempatan untuk mengintegrasikan aktivitas Pendidikan Jasmani
dengan pengalaman-pengalaman pendidikan pada bidang bidang lainnya.
f.
Guru
kurang mengembangkan aspek afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang
dapat mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa
terhadap Pendidikan Jasmani.
g.
Guru
cenderung masih kurang memperhatikan kesempatan pemberian bantuan kepada siswa
agar mengerti emosi-emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas
Pendidikan Jasmani.
h.
Siswa
disuruh untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang terlalu mudah atau terlalu
sukar yang dapat menyebabkan mereka bosan, frustrasi, atau melakukannya dengan
salah.
i.
Jumlah
siswa dalam pelajaran penjas lebih dari jumlah siswa dalam kelas yang
sebenarnya, misal, mengajar empat kelas sekaligus.
j.
Siswa
disuruh mengikuti pelajaran lain karena alasan-alasan lain atau sebagai hukuman
atas perbuatannya dalam pelajaran Pendidikan Jasmani.
k.
Proporsi
jumlah waktu aktif belajar sangat terbatas sebab siswa harus menunggu giliran,
memilih team, terbatasnya peralatan, atau karena permainan gugur yang
pada umumnya siswa yang lamban yang gugur.
- Pengembangan Sistem Penilaian
Evaluasi merupakan bagian
yang tak dapat dipisahkan (integral) dari suatu proses belajar mengajar. Evaluasi
berfungsi sebagai salah satu cara untuk memantau perkembangan belajar dan
mengetahui seberapa jauh tujuan pengajaran dapat dicapai oleh siswa. Beberapa
isu yang seringkali muncul daam pelaksanaan evaluasi antara lain adalah sebagai
berikut:
a.
Untuk
mencapai tujuan penjas dan olahraga, maka disusun kurikulum sebagai wahana untuk
mengantarkan perubahan menuju tujuan yang diharapkan. Pengalaman belajar itu
disusun dan dipilih, untuk kemudian diputuskan
oleh guru pendidikan jasmani berdasarkan nilai rujukan. Ada lima nilai rujukan yaitu: (1) penguasaan
bidang studi (disciplinary mastery),
(2) aktualisasi diri (self
actualization), (3) rekonstruksi sosial (social reconstruction), (4)
proses belajar (learning process), dan (5)
integrasi lingkungan (ecological integration) (Jewet & Bain, 1985; dalam
Jewet, 1994).
b.
Pelaksanaan
penilaian belum begitu nampak terintegrasi dalam sebuah proses belajar
mengajar. Pengecekan terhadap pemahaman siswa dan pemberian umpan balik yang memadai
dalam rangka meningkatkan penguasaan materi oleh siswa sebagai salah satu
bentuk evaluasi, nampaknya belum merupakan bagian yang menyatu dalam sebuah
proses belajar mengajar. Untuk itu seringkali guru memberikan evaluasi harian
yang sifatnya formalitas saja, asal menyampaikan tanpa dijadikan umpan balik
untuk perbaikan proses berikutnya.
c.
Materi
evaluasi terkadang kurang kurang relevan dengan materi yang diberikan pada proses
belajar mengajar. Kecenderungan untuk mengambil materi evaluasi dari bang-bang
soal dari luar sekolah atau dari soal sebelumnnya tanpa terlebih dahulu
direvisi atau disesuaikan dengan materi belajar yang sudah diberikan, memang
merupakan cara yang cepat.
d.
Situasi
pelaksanaan evaluasi. Dalam situasi ujian tes tulis di kelas, hasil tes mungkin
hanya diketahui oleh yang dites dan gurunya. Sementara itu, dalam tes penampilan di lapangan, hasil
tes diketahui oleh semua orang. Semua siswa tahu siapa yang larinya paling
lambat, siapa yang skor shootingnya paling rendah, dsb.
e.
Alokasi
waktu pelajaran Penjas di sekolah amat terbatas untuk mengadakan pengetesan.
Alokasi waktu pelajaran Penjas rata-rata satu kali perminggu, selama 2x45 menit
dalam setiap semester (kurang lebih enam bulan) dengan pertemuan sebanyak 12
kali.
Pengetesan sering menggunakan
waktu yang cukup lama. Untuk melakukan satu butir tes kesegaran jasmani saja,
misal tes lari 2,4 km (tes aerobik) diperlukan satu pertemuan bahkan kadang
lebih.
f.
Masalah
lain adalah evaluasi seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh ahli statistik, sebab
statistik diperlukan untuk pengolahan data. Bila demikian guru harus bekerja
ekstra keras, menyisihkan waktu dan mengeluarkan tenaga yang lebih banyak,
dan konsentrasi penuh pada evaluasi.
g.
Dan yang paling
penting sekarang ini sesuai dengan kondisi masyarakat di seluruh aspek yaitu
menurun nilai moral dalam hal ini nilai kejujuran baik dari guru sendiri maupun
dari kalam kalangan peserta didik. Oleh karena itu penilaian ranah afektif juga
perlu dinilai dalam hal ini pengamalan nilai-nilai sportifitas olahraga
(ksatria dan kejujuran)
- Pengembangan Sistem Sarana dan Prasarana Pembelajaran Penjasor
Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran penjas
merupakan salah satu isu yang cukup merata dan sangat terasa oleh para
pelaksana penjas di lapangan. Pada umumnya sekolah-sekolah di Indonesia pada
setiap jenjang pendidikannya selalu dihadapkan dengan permasalahan kekurangan
sarana dan prasarana ini. Tidak sedikit sekolah di Indonesia, khususnya di
daerah perkotaan tidak memiliki tempat atau lahan untuk melakukan aktivitas
jasmani, khususnya yang berkaitan dengan olahraga misalnya lapangan. Walaupun
ada, jumlahnya tidak proporsional dengan jumlah siswa, seringkali ditambah
dengan kualitasnya yang kurang memenuhi tuntutan pembelajaran.
Idealnya sarana dan
prasarana ini harus lengkap, tidak hanya yang bersifat standard dengan kualitas
yang standar pula, tetapi juga meliputi sarana dan prasarana yang sifatnya
modifikasi dari berbagai ukuran dan berat ringannya. Modifikasi sarana dan
presrana penjas sangat penting dilakukan oleh guru penjas untuk melayani
berbagai kebutuhan tingkat perkembangan belajar anak didik di sekolah
bersangkutan yang terkadang sangat beragam karakteristik kemampuannya.
- Isu Keberhasilan Kurikulum Penjas
Keberhasilan kurikulum
Pendidikan Jasmani pada setiap jenjang pendidikan sampai saat ini masih
dirasakan samar. Ukuran yang digunakan oleh setiap orang dalam menafsirkan
keberhasilan program masih bersifat sama rata dan cenderung bersifat lokal
belum menyeluruh sebagaimana tercantum dalam tujuannya. Namun demikian salah
satu indikator yang mungkin dapat kita telusuri adalah karakteristik para
lulusannya.
Untuk itu kita dapat
bercermin pada karakteristik lulusan Pendidikan Jasmani yang dijadikan patokan
di beberapa negara maju, misalnya seperti yang dikemukakan oleh NASPE (National
Association for Sport and Physical Education, 1992) yang intinya adalah sebagai
berikut:
a.
Memiliki
keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan
fisik.
b.
Bugar
secara fisik.
c.
Berpartisipasi
secara teratur dalam aktivitas jasmani.
d.
Mengetahui
akibat dan manfaat dari keterlibatandalam aktivitas jasmani.
C. Menengok
Kurikulum Pendidikan Jasmani Nasional
Pada tingkatan kurikulum,
kelemahan program pendidikan jasmani masih berkutat di seputar struktur
kurikulum nasional yang masih diwarnai oleh kesalahan orientasi dalam berbagai
aspeknya. Pada tingkat ini, masalah yang dapat diidentifikasi adalah masih
sangat sentralistisnya tujuan kurikuler dan tujuan instruksional (Kurikulum
1994), dan terlalu mendetil serta tendensiusnya standard kompetensi serta
kompetensi dasar yang ditetapkan (Kurikulum 2004-2006), sehingga oleh beberapa
pihak dianggap sangat membelenggu guru. Saking tendensiusnya, bahkan perumus
kurikulumnya sendiripun nampaknya menjadi bingung sendiri manakala harus
memberi perbedaan di antara materi untuk kelas dan jenjang yang berbeda.
Lebih lanjut,
kelemahan pun masih terasa dalam hal orientasi kurikulum yang sangat menekankan
pencapaian atau penguasaan keterampilan-keterampilan formal dari berbagai
cabang olahraga (oleh beberapa ahli disebut serba-perilaku). Key Learning Areas
dalam Penjas hanya memasukkan wilayah-wilayah keterampilan gerak didasarkan pada pengelompokkan kecabangan
plus aktivitas ritmik dan aktivitas luar
berandai-andai tentang peranan apa
yang harus dimainkan. Penjas sebagai mata pelajaran, dengan membuat
sebuah skenario tentang bentuk masyarakat dunia dan Indonesia di masa
mendatang. Skenario tersebut diperlukan untuk mencoba-coba merumuskan Kurikulum
Penjas secara umum untuk memecahkan persoalan yang akan dihadapi di masa depan.
D. Eksistensi Pendidikan Jasmani
dalam Struktur Kurikulum
Disisi lain krisis
pendidikan jasmani yang terjadi hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman kita terhadap eksistensi pendidikan jasmani sebagai salah satu
komponen penting dalam kurikulum. Cukup banyak tulisan atau pendapat dari pakar
termasuk para pengambil kebijakan yang menyatakan bahwa pendidikan jasmani itu
penting, namun pada tataran praktis ternyata "jauh panggang daripada
api". Apa yang terjadi di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang
dikonsepsikan. Alokasi waktu yang terbatas, kualifikasi tenaga pengajar yang
tidak sesuai, dan minimnya anggaran vang dialokasikan. Selain itu. berdasarkan
hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan infrastruktur di
sebagian besar sekolah. Kondisi yang demikian sudah barang tentu sangat tidak
menguntungkan bagi pengembangan Pendidikan jasmani itu sendiri.
Misi pokok pendidikan jasmani seringkali belum dapat dipahami oleh banyak
orang, sekalipun
itu pendidik. Salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa pendidikan
jasmani sering dianggap sebagai bidang studi pelengkap dan dalam posisi
yang kurang menguntungkan. Pertama, pendidikan jasmani adalah program yang
relatif lebih mahal untuk dilaksanakan karena memerlukan banyak perlengkapan.
Kedua, banyak orang menilai bahwa pendidikan jasmani kurang penting dibanding
pelajaran lain seperti matematika, bahasa, dan sebagainya.
Kita semua
menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik, mental
emosional, intelektual, social maupun spiritual akan berlangsung normal apabila
diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan aspek-aspek tersebut tumbuh dan
berkembang secara wajar. Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari
pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan jasmani adalah wahana untuk
menumbuh-kembangkan anak secara manusiawi yang wajar dan efektif. Oleh karena
itu, sudah selayaknya bila pendidikan
jasmani diberikan perhatian yang proporsional dan dilaksanakan secara efisien,
efektif serta sesuai dengan kondisi fisik dan psikis anak.
E. Kurikulum
Pendidikan Jasmani Yang Seimbang dan Efektif
Pengertian
tentang kurikulum yang seimbang tidak berarti alokasi waktu yang disediakan
dibagi sama untuk semua bidang studi, tetapi lebih mengacu pada proporsi yang
rasional untuk masing-masing bidang studi tersebut serta mengandung muatan
kemampuan yang relatif berimbang. Sebagai ilustrasi, pada kurikulum SLTP 1994,
terdapat 12 bidang studi, salah satu diantaranya adalah Pendidikan jasmani dan
Kesehatan. Total waktu untuk dua belas bidang studi tersebut adalah 44 jam per
minggu, dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan hanya 2 jam per minggu (4,5%).
Sudah barang
tentu ini bukanlah suatu perbandingan yang proporsional bagi bidang studi
Pendidikan jasmani, apalagi waktu 2 jam tersebut dibagi antara Pendidikan
jasmani sendiri dan Kesehatan. Alokasi waktu nampaknya masih terkonsentrasi
pada kelompok bidang studi tertentu. Kurikulum-pendidikan jasmani yang seimbang
mencirikan bahwa muatan pendidikan jasmani tidak ditekankan hanya pada
penguasaan keterampilan motorik tetapi juga pengembangan nilai-nilai
kepribadian peserta didik. Kurikulum yang seimbang bersifat integratif dan eklektif tidak menekankan pada satu model tertentu seperti
keterampilan kecabangan olahraga, kebugaran jasmani, kegiatan alam terbuka. Menurut
Agus Mahendra dkk (2006) menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan yang seimbang mendorong terjadinya proses pembelajaran yang
memberikan peluang bagi peserta didik untuk
belajar untuk
tahu (learning to know) belajar untuk
bekerja (learning to do) belajar untuk
mandiri (learning to be) belajar
untuk hidup bersama (learning to live
together) Secara ringkas, kurikulum pendidikan jasmani yang seimbang mampu
menumbuh kembangkan pribadi anak seutuhnya (allround development) yang mencakup
ranah intelektual, fisikal emosional, spiritual dan social.
Rencana
kurikulum pendidikan jasmani sebagaimana layatnya kurikulum bidang studi lain
biasanya didasarkan pada hasil akhir yang hendak dicapai (desired outcomes) oleh peserta didik. Jadi sebelum merancang suatu
kurikulum, langka pertama adalah mengidentifikasi hasil keluaran (exit outcomes) yang diharapkan dari
peserta didik setelah mengikuti program. Hasil program ini merupakan tingkat
pencapaian prestasi peserta didik sesuai dengan standar kompetensi yang
dikehendaki. Setelah itu barulah disusun hasil antara (intermediate outcomes) yang harus dicapai peserta didik setiap unit
pelajaran.
Standar kompetensi untuk pendidikan jasmani pada tingkat
nasionai perlu dikembangkan dan disepakati
secara nasionai sebelum kita merancang kurikulum. Standar nasionai ini
dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat prestasi (achievement) yang diharapkan setelah peserta didik selesai mengikuti program
pendidikan jasmani. Standar tersebut
di atas membantu menentukan hasil keluaran (exit outcomes) dan kurikulum
yang sesuai dengan taraf perkembangan anak (developmentally appropriate
curricula).[7]
Disamping standar nasional beberapa prinsip dasar berikut perlu
diperhatikan dalam merancang kurikulum pendidikan
jasmani adalah sebagai berikut:
1.
Perhatian selalu
dipusatkan pada hasil keluaran setiap tingkat kelas, ini merupakan tujuan
(goals) yang harus dicapai dalam pembelajaran termasuk penilaian.
2.
Rencanakan berbagai
peluang bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi termasuk pengetahuan dan
keterampilan yang dipersyaratkan sebelum maju ke tingkat lebih tinggi.
3.
Rencanakan bagaimana
setiap peserta didik akan memperoleh dukungan sesuai kebutuhan nya sehingga
termotivasi untuk mencapai tujuan program.
4.
Buat rancanean secara
mundur dan hasil keluaran (exit outcomes) - hasil program (program outcomes) -
hasil mata pelajaran (course outcomes) - hasil unit (unit outcomes) sampai
dengan hasil pembelajaran (lesson outcomes). Dan perspektif internal kurikulum
pendidikan jasmani sendiri, ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan
perhatian.
Dari
perspektif internal kurikulum pendidikan jasmani sendiri, ada beberapa catatan
penting yang perlu mendapat perhatian, antara lain:
1)
Tujuan diorientasikan
pada pengembangan yang bersifat fisik tanpa pengabaian pada tujuan-tujuan non-fisik.
Tidak bisa dipungkin bahwa pendidikan jasmani objek formalnya adalah gerak fisik
insani, tapi tidak berarti dengan objek formal yang demikian menyebabkan hilangnya
substansi lain seperti aspek kognitif, afektif, dan sosial. Persoalan tersebut
pada keilmuannya membawa implikasi pada model evaluasi yang dikembangkan. Dalam
kaitan ini pemahaman terhadap filosofi pendidikan jasmani perlu direaktualisasi.
2)
Pola pengembangan
materi tidak terfokus pada aktivitas yang bersifat kecabangan oiahraga (sport base). Pada tingkat pendidikan
dasar, seyogyanya materi tidak dikemas dalam nuansa cabang olahraga, tetapi lebih berdasarkan pada unit aktivitas
tertentu. Hal ini menjadi semakin penting sehubungan dengan upaya memberikan
pengalaman gerak sebanyak-banyaknya kepada anak.
3)
Guru perlu dibebankan
keleluasaan untuk mengembangkan pola pengajarannya.
Hal ini mengingat kondisi sekolah dalam kenyataannya tidaklah sama, baik dalam fasilitas, sarana
prasarana maupun infrastruktur lainnya.
4)
Alokasi waktu
pendidikan jasmani atau bentuk kegiatan olahraga di sekolah perlu ditingkatkan.
Sungguhpun optimalisasi tetap harus dilakukan, apabila penambahan jam pelajaran
tidak memungkinkan beberapa alternatif
seperti pemanfaatan waktu luang pagi hari sebelum pelajaran, siang dan
sore hari dengan kegiatan ekstra, aktivitas fisik (senam sebelum masuk di dalam
kelas) atau saat pergantian pelajaran.
5)
Faktor penting yang
hendaknya juga menjadi fokus perhatian adalah model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh guru pendidikan jasmani
di sekolah. Pada tataran implementasi, model pembelajaran merupakan wujud
kongkrit pelaksanaan kurikulum di lapangan.
Terkait dengan masalah ini, maka perlu memberikan penekanan kembali
tentang pendekatan modifikasi olahraga. Sebagai pendekatan pembelajaran,
modiflkasi olahraga dimaksudkan untuk mengganti model pengajaran tradisional
yang selama ini diterapkan. Pendekatan ini telah berhasil diterapkan dibeberapa
Negara seperti Amerika dan Australia (Siedentop,1994; Tinning, Kirk &
Evans,1993; Australian Sports Commision, 1994). Pengajaran model ini sama
dengan pengajaran retlektif yang pada hakikatnya menolak pendekatan secara
linier, rutin dan monoton. Modiflkasi dapat dilakukan pada alat, ukuran Iapangan, aturan permainan dan sebagainya.
Seorang guru dikatakan berhasil apabila ia dapat mencapai kepuasan
profesional, dan ia secara kreatif mampu menggunakan berbagai keterampilan
mengajar serta berinteraksi secara efektif dengan lingkungan pembelajaran. Guru
harus mampu memanfaatkan lingkungan yang ada secara optimal sehingga dapat menumbuhkan
situasi dan kondisi dimana anak terangsang untuk senang belajar.[8]
F. Menetapkan
Skenario Untuk Kurikulum Penjas Masa Depan
Dalam Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Ketentuan
dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP adalah pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat
(1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36
ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2)
(BSNP 2006:4). Dalam Undang-Undang tentang Sisdiknas dikemukakan bahwa Standar
Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Selain itu juga
dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS,
seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan, dan
muatan lokal.[9]
Kurikulum dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan, perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Untuk itu
maka dalam suatu kurun waktu tertentu kurikulum harus dikaji kembali disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta disesuaikan dengan tuntutan jaman. Kurikulum disusun
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap
perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan
jenjang masing-masing satuan.
Perubahan
kurikulum merupakan suatu keharusan. Persoalan-persoalan yang terjadi
tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara dan paradigma lama. Kurikulum perlu
membuka peluang berupa cara-cara dan wawasan baru. Untuk mewujudkan hasil pendidikan bermutu tersebut diperlukan kompetensi
dasar tamatan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks lokal, nasional
dan global. Peningkatan mutu pendidikan secara nasional memerlukan
standar mutu pendidikan nasional yang memuat kompetensi dasar yang harus
dikuasai siswa di seluruh Indonesia.
Oleh
karenanya Pusat Kurikulum perlu mengembangkan sebuah "Kurikulum Masa
Depan" untuk meningkatkan mutu kehidupan, yang sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan
jaman dengan memperhatikan: keanekaragaman kemampuan peserta didik.
Kurikulum disusun sesuai dengan kekinian dan kemasadepanan; oleh karena itu,
kurikulum harus relevan, fleksibel, dan dapat dipertanggungjawabkan ini
menuntut kejelasan orientasi kurikulum, yakni lebih pada hasil pelajaran
daripada prosedur pembelajaran. Dengan
orientasi ini ditetapkan kompetensi dasar siswa pada setiap jenjang pendidikan,
yang dapat dicapai melalui berbagai cara sesuai dengan keadaan
sekolah/daerah. (Brosur: Kurikulum Masa Depan, Pusat Kurikulum, Mei 2000).
"Kurikulum Masa Depan" ini berbasis pada Kemampuan Dasar, untuk
semua mata pelajaran per satuan pendidikan. Dengan adanya kurikulum tersebut
diharapkan sejumlah kemampuan dasar apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah lulus sekolah menurut satuan pendidikan.[10]
Sekolah diberi kebebasan untuk
mengembangkan/menentukan sendiri bentuk kegiatan nya disesuaikan dengan
kemampuan dasar yang terdapat pada masing-masing kelas/jenjang pendidikan.
Kemampuan
dasar adalah kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikati
proses belajar mengajar pada kelas/jenjang pendidikan tertentu untuk
meningkatkan keterampilan dan kesehatan jasmani, dan mengerti cara menjaga
kesehatan dan kamanan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan yang menjadi /criteria dalam memilih kemampuan dasar adalah
bahwa kemampuan tersebut harus
mempvnyai nilai pendidikan; sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, sosial dan emosional; berfungsi mengembangkan potensi fungsi-fungsi
organik. sistem otot dan syaraf; cipta, rasa dan karsa; mengembangkan aktifitas
dan kreatifiltas siswa.
Dalam pembuatan Kurikulum Masa
Depan perlu diingat pula bahwa kurikulum harus: "Komunikatif mudah
dipahami dan dilakukan; menumbuhkan sikap disiplin, jujur dan tanggung jawab;
dan materinya bersifat rekreatif; meningkatkan kesehatan dan kesegaran
jasmani; membiasakan pola hidup sehat.
Materi pelajaran Penjas di SMP
harus sinambung dengan materi di SD, dan disiapkan untuk sinambung dengan SMU.
Oleh karena itu, seperti juga disepakati oleh para praktisi di lapangan maupun
konseptor, materi pelajaran pendidikan jasmani di SD ditekankan pada
pembentukan gerak dasar yang baik dan benar, tetapi dilakukan intensif,
sehingga berpengaruh pada pembinaan kesegaran jasmani siswa. Gerak dasar
tersebut adalah jalan, lari, lompat (lempar-tangkap
dan pukul (memukul). Sedangkan
materi pelajaran di SLTP merupakan
kombinasi gerak dasar yang sudah baik dan benar berbentuk permainan. Tetapi
permainan yang disajikan bentuknya adalah "lead game", yakni
bentuk permainan pendahuluan, misalnya: permainan bola vol, mini, sedangkan
materi di SMU bentuk permainan modified game.
Dengan gerak dasar yang sudah
dikuasai dengan baik di SD, maka bentuk
permainan di SLTP dan SMU akan menarik perhatian siswa karena permainan
selalu mendatangkan kegembiraan dan sasaran penjas di SLTP tetap kebugaran
jasmani, seperti di SD dan di SMU.
Dengan alokasi waktu yang hanya 2
jam perminggu, guru harus dapat memanfaatkan
waktu dengan seefektif mungkin. Dengan waktu yang ada, guru harus mampu memberikan materi/praktek yang dapat
diserap siswa untuk menghasilkan kemampuan
dasar tertentu. Guru penjas dituntut untuk mengetahui dan memahami
bentuk-bentuk gerak yang secara teknis harus dilakukan dengan baik dan benar,
serta diharapkan dapat menumbuhkan minat pada siswanya untuk selalu
mengikuti pelajaran dengan baik dan menyakinkan bahwa pelajaran penjaskes
sangat penting untuk dipelajan. Guru dituntut untuk selalu kreatif dalam
menciptakan suasana belajar yang menarik dan kreatif dalam pengadaan alat
belajar, baik sarana maupun prasarana.
Dengan melihat alokasi waktu yang
hanya 2 jam per minggu, pendidikan jasmani saja sudah cukup banyak apalagi
ditambah dengan materi kesehatan. Terlebih
lagi ditambah dengan keinginan beberapa kalangan yang ingin memasukkan materi-materi
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, misal: NAZA, reproduksi, AIDS,
dsb. Maksud dari mereka adalah baik, yaitu sejak dim diperkenalkan kepada siswa
agar siswa mengetahui apa keuntungan dan kerugian apabila siswa telah menerima
materi tersebut. Tetapi perlu diingat, tidak semua materi dapat dijelslkan (dimasukkan)
dalam kurikulum pendidikan jasmani, apalagi dipaksakan
agar dapat menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Untuk
mengurangi beban materi kesehatan pada mata pelajaran pendidikan jasmani ini bisa diintergrasikan dengan mata pelajaran
lain, dan dapat juga diajarkan melalui kegiatan
ekstra kurikuler, misalnya: PMR, UKS, dan lam sebagainya atau dapat dengan cara
mengembalikan kembali alokasi waktunya menjadi 3 jam pelajaran perminggu.
Pengintegrasian materi kesehatan tersebut tentu saja memerlukan "bargaining”
dengan mata pelajaran yang lain (relevan), agar tidak terjadi overlapping, tarik menarik atau mungkin
menolak materi tersebut untuk dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang
bersangkutan.
Penyusunan
“Kurikulum Masa Depan" seharusnya diikuti dengan serangkaian kegiatan lainnya seperti penyusunan buku-buku sumber,
penyediaan fasilitas dan peralatan serta pendidikan pelatihan untuk
pengembangan kemampuan guru. Kegiatan-kegiatan ini perlu
dirancang dan didukung untuk menjamin agar kurikulum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan target
yang diinginkan.
Disisi lain
kurikulum Penjas masa depan dalam mengembangkan kurikulumnya tidak hanya
mengembangkan ranah kognitif dan psikomotor saja tetapi bagaimana memaksimalkan
ranah afektif di kalangan peserta didik tidak hanya di sekolah-sekolah tetapi
juga di kalangan pergurungan tinggi yang sekarang ini marak terjadinya tawuran
di kalangan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi dekadensi moral di
kalangan peserta didik (siswa dan mahasiswa). Oleh karena itu kurikulum penjas
yang berorientasi masa depan yang harus menyeimbangkan ranah psikomotor dan
kognitif dengan memaksimal ranah afektif dikalangan
peserta didik (siswa/mahasiswa) dengan cara penanaman nilai-nilai sportifitas
olahraga dan fair play (kejujuran, adil, ksatria, tunduk pada aturan, disiplin,
hormat terhadap lawan, tegas dan berwibawa, rendah hati serta semangat
kompetitif).
Nilai-nilai tersebut sangat
penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh lapisan
masyarakat khususnya dikalangan peserta didik (siswa dan mahasiswa) sebagai
penerus masa depan bangsa. Jika nilai-nilai penjas dan olahraga (sportifitas
dan fair play) tersebut diaplikasikan oleh seluruh elemen pemimpin bangsa ini,
maka niscaya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi penyakit moral
bangsa ini akan semakin berkurang.
III. KESIMPULAN
Kurikulum Pendidikan Jasmani yang
seimbang dan efektif dengan orientasi masa depan selayaknya sudah mulai
dirancang dengan memperhitungkan sebuah hasil ekstrapolasi tentang kondisi dan
kebutuhan masyarakat di masa depan, agar mampu memainkan peranan yang strategis
dalam upaya merekonstruksi masyarakat Indonesia di masa depan. Kurikulum
tersebut perlu memperhitungkan berbagai nilai acuan yang berlaku, serta tidak
didominasi oleh nilai acuan yang tunggal. Model kurikulum yang berkembang pun
perlu dimasukkan ke dalam substansi kurikulum, sehingga memicu guru untuk
memilih dan menetapkan salah satu atau
beberapa model yang tepat bagi kondisi lingkungan sekolah dan budaya serta
keunikan masyarakat setempat. Kurikulum itupun hendaknya terbebas dari pengaruh
paradigma lama yang mengungkung keberanian serta kesiapan untuk melakukan
pembaharuan dalam bidang pendidikan secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Brosur:
Kurikulum
Masa Depan, Pusat Kurikulum, Mei 2000)
Jewet,
A.E. (1994) Curriculum Theory and Research in Sport Pedagogy, dalam Sport Science
Review. Sport Pedagogy. Vol. 3 (1), h. 11-18.
Jewett;
Bain; dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education,
Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.
Lutan,
Rusli. (2005). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Sekolah: Penguasaan Kompetensi Dalam
Konteks Budaya Gerak. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Standar Kompetensi Guru
Penjas. Cipayung. Direktorat Tenaga Kependidikan. Diknas. 2005.
Macdonald,
D. (2000). Curriculum change and the postmodern world: The school
curriculum-reform project an anachronism?
Mahendra,
Agus, dkk. (2006). Implementasi Movement-Problem-Based Learning Sebagai Pengembangan Paradigma Reflective Teaching Dalam Pendidikan
Jasmani: Sebuah Community-Based
Action Research Di Sekolah Menengah Di Kota Bandung. Laporan Penelitian.
UPI. Bandung.
Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas tahun 2003. Survey
Nasional Kebugaran Jasmani Siswa Sekolah Menengah.
Depdiknas. Jakarta.
IL.
Siedentop, D., (1991), Developing Teaching Skills in Physical Education, Mayfield
Publishing Company.
__________,
ICHPER.SD International Standard of
Physical Education and Sport, on Global
Mission of The Physical Education and Sport, (2004).
Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003
[1] Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas tahun 2003. Survey
Nasional Kebugaran Jasmani Siswa Sekolah Menengah.
Depdiknas. Jakarta.
[2] Jewett; Bain;
dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education, Second
Edition, Brown & Benchmark Publishers.
[3] Macdonald, D. (2000). Curriculum change and the
postmodern world: The school curriculum-reform project an anachronism?
[4] Jewett; Bain; dan Ennis, (1995), The Curriculum Process in Physical Education,
Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.
[5] Lutan, Rusli.
(2005). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Sekolah: Penguasaan Kompetensi Dalam
Konteks Budaya Gerak. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Standar Kompetensi Guru
Penjas. Cipayung. Direktorat Tenaga Kependidikan. Diknas. 2005.
[6] __________,
ICHPER.SD International Standard of Physical Education and Sport, on Global Mission of The Physical Education and
Sport, (2004).
[7] Mahendra,
Agus, dkk. (2006). Implementasi Movement-Problem-Based Learning Sebagai Pengembangan Paradigma Reflective Teaching Dalam Pendidikan
Jasmani: Sebuah Community-Based
Action Research Di Sekolah Menengah Di Kota Bandung. Laporan Penelitian.
UPI. Bandung
[8] IL.
Siedentop, D., (1991), Developing Teaching Skills in Physical Education, Mayfield
Publishing Company.